Mutasi D614G Virus Corona, Mungkinkah Lebih Berbahaya?
Belum ada data ilmiah tunjukkan mutasi D614G sebabkan penularan lebih cepat.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Antara
Mutasi virus corona jenis baru telah terjadi. Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan keberadaan virus SARS-CoV-2 dengan mutasi D614G sebetulnya sudah dideteksi di Indonesia melalui analisa isolat virus yang beredar di Tanah Air yang diperoleh pada April 2020.
"Keberadaannya dilaporkan bulan Mei yang lalu dan dari isolat yang sebetulnya diperoleh bulan April. Jadi sebetulnya bulan April sudah ada," kata Amin dalam konferensi pers virtual yang diadakan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di kantor Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta, Rabu (2/9).
Kemudian, berturut-turut ditemukan di kota-kota lain seperti di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. "Ini sebetulnya menunjukkan bahwa virus dengan mutasi D614G ini sudah berada di Indonesia," ujarnya.
Virus SARS-CoV-2 dengan mutasi D614G pertama kali ditemukan pada Januari 2020 di Jerman dan China. Dari keseluruhan data urutan genom utuh (whole genom sequencing) virus SARS-CoV-2 dari seluruh dunia yang sudah terkumpul di GISAID saat ini, maka sekitar 78 persen yang mengandung mutasi D614G.
Amin menuturkan Eijkman dan lembaga lain yang terkait terus melakukan whole genom sequencing dari isolat virus SARS-CoV-2 yang beredar di Indonesia untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam tentang virus itu. "Saat ini kami semuanya berupaya untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dari kota-kota lain Indonesia untuk mendapatkan gambaran seberapa luas penyebaran virus dengan mutasi D614G ini," ujarnya.
Amin mengatakan berdasarkan informasi sementara dari kajian-kajian yang belum dilaporkan memang terindikasi ditemukannya mutasi D614G di virus-virus Corona yang lainnya. Sementara ini, belum ada data ilmiah yang kuat yang menunjukkan bahwa mutasi D614G itu menyebabkan penularan yang lebih cepat atau lebih luas ataupun menambah beratnya penyakit Covid-19.
"Namun, kita tetap tidak boleh menganggap bahwa pandemi ini kemudian dapat diabaikan karena kita tetap harus melaksanakan kegiatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak)," ujar Amin.
Pemerintah Indonesia telah mengirim 24 sampel virus genom atau whole genom sequencing (WGS) SARS-CoV2 penyebab Covid-19 ke lembaga global GISAID dan hasilnya sembilan diantaranya bermutasi menjadi virus corona jenis baru (SARS-CoV2) yaitu D614G. Bahkan, D614G mendominasi hasil uji seluruh sampel di GISAID.
"Dari 24 WGS yang dikumpulkan Indonesia (ke GISAID), sembilan diantaranya mengandung mutasi D614G. Rinciannya dua dari Surabaya, tiga dari Yogyakarta, dua dari Tangerang dan Jakarta, dan dua dari Bandung," ujar Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/ Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Soemantri Brodjonegoro.
Ia menambahkan, dari sembilan virus corona yang bermutasi D614G ini, satu di antaranya berasal dari Jakarta dan masuk dalam kategori dalam GR dan delapan lainnya dari luar Jakarta masuk kategori GH. Bahkan, ia menyebutkan temuan mutasi virus ini mendominasi dalam temuan GISAID.
Terbukti ketika melihat WGS yang sudah ada di GISAID dari seluruh dunia, sekitar 78 persen mengandung mutasi virus D614G. "Artinya mutasi D614G ini sudah mendominasi virus SARS-CoV2," ujarnya.
Saat ini Indonesia sudah menyampaikan ke GISAID sekitar 34 sekuens dari genom virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Namun hanya 24 sekuens atau urutan genom utuh yang dilakukan analisis lebih lanjut oleh GISAID karena dinilai sudah memenuhi syarat sebagai whole genom sequencing.
Sebanyak 24 WGS dari Indonesia yang sudah diterima GISAID itu terdiri dari empat WGS yang berasal dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dua WGS yang berasal dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dua WGS yang berasal dari kerja sama Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjajaran dan laboratorium kesehatan Jawa Barat, 10 WGS yang berasal dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dan enam WGS dari Universitas Airlangga.
GISAID adalah sebuah lembaga bank data yang saat ini menjadi acuan untuk data genom virus SARS-CoV-2. Dari data WGS yang terkumpul dari berbagai negara, GISAID melakukan analisa dan karakterisasi dari virus COVID-19 yang beredar di seluruh dunia.
Menurut Bambang, D614G ini tidak berbahaya. Ia mengutip pernyataan presiden GISAID yang telah berbincang dengan pihaknya bahwa belum ada bukti yang menyatakan mutasi virus menjadi D614G ini lebih ganas dan lebih berbahaya dibandingkan Covid-19. Presiden GISAID, dia melanjutkan, menyampaikan bahwa mutasi virus ini sama dengan Covid-19 yang kini tengah dialami masyarakat di dunia.
"Artinya, belum ada bukti, baik terhadap penyebaran maupun keparahan dari penyakit Covid-19 itu sendiri," katanya.
Karena itu, ia memastikan pengaruh dari D614G ini tidak akan mengganggu upaya pengembangan vaksin karena mutasi virus ini tidak menyebabkan perubahan struktur maupun fungsi dari Receptor-Binding Domain (RBD) yang merupakan bagian dari virus yang dijadikan target vaksin. Ia menambahkan, upaya pengembangan vaksin Covid-19 seperti vaksin merah putih di Tanah Air dan vaksin di luar negeri tidak akan terganggu dengan mutasi virus D614G.
Lebih lanjut, ia meminta masyarakat tidak panik yang berlebihan menghadapi D614G tetapi tetap penuh waspada. "Karena bagaimanapun yang namanya Covid-19 atau SARS-CoV2 ini akan tetap ada," ujarnya.
Amin Soebandrio menambahkan, mutasi memang menyebabkan perubahan pada protein spikevirus coronatipe SARS-CoV-2, namun tidak sampai mengganggu RBDvirus yang menjadi sasaran vaksin. "Perubahan yang disebabkan karena mutasi ini walaupun terjadi pada spike protein tapi pada lokasi yang berbeda sehingga receptor-binding domain ini tidak terganggu dan selama vaksin ini ditujukan terhadap RBD maka tidak akan mengganggu kinerja vaksin," katanya.
Saat ini lima institusi sedang mengembangkan Vaksin Merah Putih. Lima institusi tersebut adalah Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Universitas Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Airlangga.
Vaksin Merah Putih adalah vaksin yang bibit vaksinnya diteliti dan dikembangkan di Indonesia. Lembaga Eijkman mengembangkan vaksin berbasis platform subunit protein rekombinan dan inactivated virus atau virus yang dilemahkan.
Universitas Indonesia mengembangkan vaksin dengan tiga platform yaitu DNA, RNA, dan virus-like particle. Institut Teknologi Bandung dan Universitas Airlangga masing-masing mengembangkan vaksin dengan platform adenovirus.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengembangkan vaksin dengan platform protein rekombinan. Dalam rangka pengadaan vaksin Covid-19 di Indonesia, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Riset dan Teknologi mencoba mengembangkan vaksin dengan pendekatan efektif, cepat dan mandiri.
Kemandirian vaksin menjadi penting karena ada kebutuhan vaksin dalam jumlah besar untuk Indonesia dengan jumlah penduduk 260 juta. Karena itu, Indonesia dengan segenap kekuatan di bidang penelitian dan pengembangan berupaya mengembangkan Vaksin Merah Putih.
"Tentunya semuanya membutuhkan vaksin dan ada kemungkinan apabila vaksinasi dilakukan lebih dari satu kali per orang maka kebutuhan vaksin Covid-19 ini bisa mencapai jumlah di atas 300 juta sampai 400 juta ampul dan otomatis ini membutuhkan kemandirian baik dalam sisi produksi maupun juga dalam sisi pengembangan bibit vaksinnya," tutur Menristek Bambang.