RUU Ciptaker: Pesangon Tetap 32 Kali Gaji, Dibayar Patungan

Pesangon 32 kali gaji dibayar patungan oleh pemberi kerja dan pemerintah.

Google
Uang pesangon (Ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Febrianto Adi Saputro

Badan Legislasi DPR-RI dan Pemerintah telah menyepakati skema pembayaran pesangon di RUU Cipta Kerja (Ciptaker) dalam rapat daftar inventarisasi masalah (DIM) yang digelar pada Ahad (27/9) malam. Dari rapat itu, jumlah pesangon yang dibayarkan sebanyak 32 kali gaji, yang dibayarkan oleh pihak pemberi kerja dan pemerintah.

Baca Juga



Jumlah besaran pesangon di RUU Ciptaker sama dengan UU existing, yakni UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebanyak 32 kali gaji. Namun, yang membedakannya adalah soal siapa yang memberikan pesangon itu. Saat melakukan pemutusan hak kerja (PHK), pemberi kerja wajib membayar pesangon sebesar 23 kali gaji. Sedangkan pemerintah membayar 9 kali gaji melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Bila dibandingkan dengan UU 13/2003, angka dalam RUU Ciptaker tersebut meringankan beban yang harus dibayar pengusaha atau pemberi kerja.

Anggota Badan Legislasi dari Fraksi PKS Mulyanto sempat memprotes ketentuan itu. Sebab, 32 kali gaji yang dijanjikan oleh UU 13/2003 harus dibayar oleh pemberi kerja terkesan lebih memberikan kepastian pada buruh atau pekerja.

"Kalau ini (RUU Ciptaker) rasanya masih merugikan," ujarnya.



Namun, Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas menjelaskan bahwa angka ini merupakan kesepakatan jalan tengah. Di satu sisi, hal ini memberi afirmasi keringanan pada pengusaha. Di lain pihak, hak-hak pekerja dan buruh terkait pesangon juga tidak berkurang.

"Ini bermanfaat bagi kedua belah pihak. Itulah yang kita sepakat," ujar dia, sesaat sebelum mengetuk palu tanda DIM disetujui.

Baleg sempat mempertanyakan permasalahan soal alasan atau syarat dilakukan PHK atau pemberian pesangon. Dalam hal ini, Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Kemenko Perekonomian Elen Setiadi selaku perwakilan pemerintah menyatakan, syarat tetap mengacu pada UU existing, yakni UU 13/2003.

Pemerintah mengeklaim, skema jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) itu sebagai bentuk komitmen pemerintah menjamin hak hidup buruh yang terkena PHK. Hak hidup yang diberikan pemerintah dalam berbagai bentuk antara lain seperti transfer dana kas atau dana tunai perbulan sampai pekerja PHK memperoleh pekerjaan.

Namun, Elen menyatakan. rincian soal skema ini perlu diatur lebih lanjut. 

"Hitungan waktu berapa lama pemerintah harus menanggung pekerja PHK dalam skema asuransi ini? Kami tentu harus diskusikan lebih lanjut," kata Elen.

Hal itu menurut Elen, harus didiskusikan mengingat ada konsekuensi bahwa skema JKP akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN) yang cukup besar.

Sejauh ini, klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja dinyatakan tuntas dibahas dan disepakati oleh pihak DPR RI dan Pemerintah. Adapun yang disepakati di antaranya soal sanksi akan kembali menggunakan pengaturan di UU eksisting (UU nomor 13 tahun 2003), pencabutan upah minimum padat karya dari RUU Cipta Kerja, upah minimum kabupaten/kota tidak, serta pengaturan kluster ketenagakerjaan wajib mematuhi putusan mahkamah konstitusi (MK).

In Picture: Aksi Buruh Tolak Omnibus Law

Sejumlah massa buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (12/2). - (Republika/Thoudy Badai)

JKP Dinilai harapan palsu

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) Indra Munaswar merespona soal dimasukannya skema jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) ke dalam Omnibus Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Indra menganggap skema JKP tersebut hanya pemberi harapan palsu (PHP) bagi para pekerja.

"Jelas itu hanya PHP, karena begini, ketika pasal 59 tentang PKWT (Perjanjian kerja Waktu Tertentu) itu diubah, dengan membiarkan perusahaan membiarkan menjalankan PKWT tanpa persyaratan tanpa waktu, tanpa jenis pekerjaan, sebebas-bebasnya, dan itu dapat dimungkinkan akan terjadi pelaksanaan PKWT itu membabi buta," kata Indra saat dihubungi Republika. Senin (28/9).

Menurutnya dengan demikian nantinya perusahaan tidak akan merekrut pekerja berlama-lama. Sebab menurutnya, paling lama seseorang hanya akan dikontrak paling lama 11 bulan.

"Terus kapan pekerja bisa dapat masa kerja lebih dari satu tahun? Karena itu kan tidak terakumulasi, karena itu bukan perpanjangan, bukan istilah perpanjangan. Itu yang menjadikan akhirnya JKP itu hanya mimpi saja, enggak bisa menjadi kenyataan," ujarnya.

Pemerintah sebelumnya menyebut bahwa adanya skema JKP tersebut adalah untuk menyelesaikan persoalan pesangon yang dinilai selama merugikan pekerja. Menanggapi itu, Indra menilai selama ini justru yang mempersoalkan pesangon adalah perusahaan.

"Masalahnya di mana? Enggak ada masalah di situ sebetulnya. Cuma masalah utamanya perusahaan ketika menerima pekerja dia tidak mencadangkan anggaran per bulannya untuk pesangon," tuturnya.

Selain itu, Indra juga memandang mencuatnya pembahasan mengenai persoalan pesangon dan JKP memperlihatkan bahwa pemerintah tidak memikirkan masa depan rakyat dalam hal bekerja sebagaimana yang diatur di UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Seharusnya, pemerintah menjamin bahwa rakyat bisa bekerja sampai pekerja tersebut pensiun.

Ia juga menganggap RUU tersebut tidak sesuai dengan judulnya yang seharusnya ada untuk menciptakan lapangan kerja. "Itu mah omong kosong, omong kosong itu enggak bener. Bilang omong kosong, tulis besar-besar, omong kosong itu," tegasnya.

Selain itu, dirinya juga mempersoalkan sikap DPR dan pemerintah yang seolah mengebut pembahasan RUU Ciptak Kerja. Dirinya mempertanyakan juga mekanisme pembahasan yang dilakukan di DPR yang tidak membahas daftar inventariasi masalah (DIM) satu persatu.

"Bagaimana mungkin dalam pembahasan ini yang kita ikutin terus menerus, tidak dibahas DIM, yang dibahas adalah gelondongan-gelondongan. PHK misalnya, terus soal upah misalnya. Tidak dibahas per DIM, buat apa ada DIM?," ungkapnya.

Usulan Ubah Nama RUU Cipta Kerja - (Infografis Republika.co.id)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler