Macron 'Serang' Islam, Kedok Kegagalan dan Ambisi Politik?
Serangan Emmanuel Macron ke Islam dinilai sarat muatan politik.
REPUBLIKA.CO.ID, PRANCIS— Setelah memimpin selama tiga tahun, Presiden Prancis Emmanuel Macron, mulai mempersiapkan amunisi untuk menghadapi Pemilu Presiden Prancis selanjutnya dengan cara 'menyelamatkan' Prancis dari apa yang disebutnya sebagai separatisme dan menargetkan umat Muslim di Prancis.
Dalam pidatonya, Jumat (2/10) pekan lalu, Macron mengungkapkan triknya untuk memobilisasi kubu sayap kanan agar bersama-sama 'mengendalikan' Islam di Prancis. Dia juga menyebut Islam sebagai sebuah agama yang sedang dalam krisis di seluruh dunia saat ini.
"Sekalipun kita harus menerima pernyataan yang sama sekali tidak berdasar ini, keyakinan Macron untuk dapat memecahkan masalah yang 'mengganggu' dari sebuah agama yang dianut lebih dari 1,5 miliar orang di seluruh dunia ini, sebenarnya cukup mencengangkan," tulis Malia Bouattia, seorang aktivis sekaligus Presenter TV Muslim Inggris, Women Like Us, yang dikutip di Middle East Eye, Jumat (9/10).
"Mungkin dia (Macron) memanfaatkan persona yang dia pernah tunjukkan selama kampanye pemilihan presiden pertamanya pada 2017, sehingga Macron dapat kembali memancarkan kepercayaan diri dan menunjukkan kepada orang-orang bahwa dia memiliki kendali yang kuat," sambung Bouattia.
Namun, masalah yang sesungguhnya adalah ketidakmampuan Macron untuk mengontrol semuanya. Dilihat dari ramainya aksi penutupan sektor publik pada musim semi 2018 diikuti Gerakan Gilets Jaunes yang meletus pada November tahun itu, yang kemudian diikuti dengan pemblokiran kereta api massal pada tahun berikutnya.
"Ini dengan jelas menunjukkan bahwa pidato dengan setelan yang apik tidak cukup untuk menenangkan orang-orang yang menderita krisis sosial jangka panjang, yang berulang kali diperparah pemerintah Macron," ujar Bouattia.
Sejak awal masa jabatannya, presiden telah menghadapi sejumlah kemarahan rakyat di jalanan dan tempat kerja yang tidak setuju dengan reformasi tenaga kerja yang ditetapkannya, ditambah adanya kenaikan harga bahan bakar, dan masalah yang lebih luas seperti pengangguran, kurangnya perumahan yang terjangkau, kekerasan polisi, dan banyak lagi.
Pandemi virus korona dipandang sebagai ajang Macron untuk memproyeksikan kehebatan kendalinya, dengan menghadirkan undang-undang tentang penguncian total.
Namun periode ini juga menambah kegagalan pemerintahan Macron, yang sejatinya telah menggunung, mulai dari divestasi dana negara dari kesejahteraan dan layanan sosial, hingga krisis pengangguran dan kemiskinan, yang tidak akan terpecahkan melalui sistem penguncian.
Saat demonstrasi besar-besaran Black Lives, Prancis menerima banyak sorotan dan dimintai pertanggungjawaban atas banyaknya kematian pemuda kulit hitam dan Arab di tangan polisi, termasuk di antaranya Adama Traore, seorang pemuda kulit hitam malang dari pinggiran kota Paris yang tewas dalam tahanan polisi. Kasusnya sekali lagi menguatkan rasisme sistemik yang begitu kental di Prancis, dan begitu mengakar sejak masa kolonialnya.
Terungkapnya rahasia kelam ini, memberikan pukulan pada citra Macron sebagai 'pencetus perubahan' yang dipupuknya dengan cermat, dan setiap pernyataan yang dia buat, tentang mengakui sejarah negatif kolonial Prancis, menjadi terdengar seperti omong kosong.
Keputusan Macron untuk meningkatkan pemantauan masjid, mengakhiri impor imam dari luar negeri dan memeriksa anggaran masjid, semakin meragukan 'bebasnya' Prancis dari rasisme yang telah mengakar selama ratusan tahun.
Upaya deislamisasi yang berkedok pelatihan dan sosialisasi 'Islam modern' bagi para imam juga telah menjadi hal normal. Prancis telah mengadopsi metode ini selama kolonisasi Aljazair, tidak hanya dalam lingkup agama, tetapi juga di antara komunitas di mana ia akan memilih dan "mendidik" minoritas kecil Aljazair yang akan dikenal sebagai les evolues (yang berevolusi).
"Melalui metode ini, mereka diharapkan dapat mengadopsi dan mencintai nilai-nilai republik Prancis, kemudian pergi keluar untuk meyakinkan seluruh rakyat Aljazair agar tidak mencari pembebasan," ujar Bouattia.
Misi 'peradaban' ini terus berlanjut, dimana Muslim harus terus dididik, bahkan tentang bagaimana menjalankan agama mereka sendiri. Misi ini juga berfungsi untuk 'mengubah' 5,7 juta Muslim Prancis melalui kebijakannya.
"Muslim akan terpinggirkan secara sosial ekonomi, didiskriminasi dalam pendidikan atau pekerjaan, dan 'penggencetan' Muslim ini hanya untuk kepentingan politiknya menyambut Pilkada," tegas Bouattia.
Di sisi lain, rakyat Prancis menuntut pemerintahan yang lebih baik, dengan berdemokrasi dan meneriakkan pendapat serta perasaan mereka yang bertentangan dengan kebijakan Macron. Mungkin Macron sekali lagi dibutakan oleh keangkuhannya dan terbawa oleh upaya membangun citranya sendiri, kata Bouattia.
"Bukan Islam yang sedang krisis. Itu adalah Macron, pemerintahannya, dan sistem yang mereka coba pertahankan. Pemilu 2022 menghadirkan peluang nyata untuk memasukkan mereka ke tong sampah sejarah," tulis Bouattia.
Sumber: https://www.middleeasteye.net/opinion/it-not-islam-crisis-it-macron-and-his-government