Presiden Mesir Tolak Rekonsiliasi dengan Ikhwanul Muslimin

Mesir mengeksekusi mati tahanan politik, termasuk anggota Ikhwanul Muslimin

Reuters
Presiden Mesir Jenderal Abdel Fatah al-Sisi.
Rep: Kamran Dikarma Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO — Presiden Mesir Abdel Fatah al-Sisi mengatakan terdapat “entitas” bermusuhan yang berupaya menghancurkan negara tersebut. Pernyataannya mengacu kepada kelompok Ikhwanul Muslimin. 

Baca Juga


Dalam pertemuan dengan tentara Mesir, Sisi menekankan bahwa dia menolak rekonsiliasi apa pun dengan Ikhwanul Muslimin. "Mesir menolak rekonsiliasi yang dicari oleh pasukan yang melakukan serangan berdarah terhadap rakyat Mesir dan berusaha untuk menghancurkan negara,” kata Sisi, dilaporkan situs berita New Khaleej pada Ahad (11/10). 

Baru-baru ini Mesir mengeksekusi mati 15 tahanan politik, dua di antaranya adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Mereka ditangkap pada Agustus 2013 saat berpartisipasi dalam demonstrasi anti-kudeta. Pada Agustus lalu, pemimpin terkemuka Ikhwanul Muslimin Essam El-Erian meninggal di penjara. Media lokal, termasuk surat kabar Al-Youm Al-Sabe dan El-Watan, melaporkan bahwa El-Erian meninggal setelah menderita serangan jantung.

Menurut laporan Middle East Monitor, El-Erian ditahan di Penjara Tora atau dikenal dengan Penjara Scorpion. Diberi nama demikian karena penjara tersebut dikenal cukup kejam. Pengacara menjelaskan bahwa dia dan keluarga El-Erian belum bisa mengunjunginya selama sekitar enam bulan.

Otoritas berwenang memang menangguhkan kunjungan penjara. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari tindakan pencegahan penularan Covid-19. El-Erian bertugas di banyak posisi di Ikhwanul Muslimin yang sekarang dilarang termasuk menjadi wakil ketua sayap politik Freedom and Justice Party.

Dia ditangkap setelah kudeta militer terhadap mantan presiden Mohamed Mursi pada Juli 2013. El-Erian kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pasca-penggulingan Mursi. Organisasi hak asasi manusia meyakini semua tuduhan terhadap El-Erian dipolitisasi dan merupakan sarana pembalasan terhadap mantan pejabat yang menolak menerima pelengseran Mursi. 

Mursi sendiri meninggal saat menjalani persidangan pada Juni lalu. Dia diduga mengalami serangan jantung. Namun, Ikhwanul Muslimin menyebut Pemerintah Mesir bertanggung jawab atas kematian Mursi. Menurut mereka, Mursi memang sengaja "dibunuh" secara perlahan. 

"(Pemerintah Mesir) memasukannya ke dalam sel isolasi. Mereka menahan obat-obatan dan memberinya makanan yang menjijikan. Mereka tidak memberinya hak asasi manusia yang paling mendasar," kata partai politik bentukan Ikhawanul Muslimin, Freedom and Justice Party, dikutip laman Aljazirah pada 18 Juni lalu. 

Mohammed Sudan, anggota terkemuka Ikhwanul Muslimin di London, menggambarkan kematian Mursi sebagai "pembunuhan berencana". Selain tak menerima obat-obatan selama ditahan, dia juga tak diperkenankan bertemu dengan anggota keluarganya. Menurut dia, informasi tentang kondisi kesehatannya pun sangat sedikit. Orang-orang bahkan tak dapat menjalin kontak dengannya ketika hadir di ruang sidang. 

"Dia (Mursi) telah ditempat di belakang sangkar kaca (selama persidangan). Tidak ada yang bisa mendengarnya atau tahu apa yang terjadi padanya. Dia belum menerima kunjungan selama berbulan-bulan atau hampir setahun," ujar Sudan. Oleh sebab itu, dia menilai, Mursi memang dibunuh perlahan. "Ini adalah pembunuhan terencana. Ini adalah kematian yang diperlambat," katanya. 

Mursi merupakan tokoh terkemuka Ikhwanul Muslim. Dia menjadi presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis pada 2012. Dia memimpin Mesir setelah presiden sebelumnya, Husni Mubarak, mengundurkan diri menyusul demonstrasi massal.

Namun, Mursi kemudian digulingkan dalam sebuah kudeta militer yang dipimpin Abdul Fattah al-Sisi. Setelah Sisi menduduki tampuk kekuasaan, Mursi dijebloskan ke penjara.  

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler