Proyek Gasifikasi Hemat Devisa Rp 8,7 Triliun
Proyek gasifikasi akan mengurangi ketergantungan impor LPG.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menjadi salah satu emiten batu bara yang tengah menjalankan hilirisasi batu bara. Tercatat, PTBA berencana membangun pabrik pemrosesan batu bara menjadi dymethil eter (DME) yang berlokasi di Tanjung Enim, Sumatra Selatan.
Apollonius Andwie, Sekretaris Perusahaan PTBA menjelaskan, pabrik hilirisasi batu bara tersebut akan mengolah sebanyak 6 juta ton batu bara per tahun dan diproses menjadi 1,4 juta ton DME yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti liquefied petroleum gas (LPG).
Hadirnya DME sebagai bahan bakar alternatif dinilai bisa membantu menekan impor LPG dan menghemat devisa negara. ”Berdasarkan hitungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, potensi penghematan negara bisa mencapai Rp 8,7 triliun,” ujar Apollo melalui keterangan tertulisnya, Kamis (29/10).
Adapun persiapan konstruksi proyek hilirisasi direncanakan dimulai pada pertengahan 2021 dengan target operasional di 2025. Proyek hilirisasi ini ini juga telah disetujui Presiden Joko Widodo sebagai bagian dari Program Strategis Nasional sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020.
Apollo bilang, pembangunan pabrik gasifikasi ini sejalan dengan visi Presiden untuk percepatan peningkatan nilai tambah batu bara. Bukit Asam, sebagai emiten pelat merah, terus membuktikan dan menjalankan komitmennya sebagai pionir pengembangan usaha hilirisasi batu bara di Indonesia.
Sebelumnya, Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin menjelaskan, pembangunan pabrik gasifikasi ini akan mengurangi ketergantungan impor LPG. Sebab, DME yang dihasilkan PTBA akan bertindak sebagai subitisi LPG, yang diketahui sampai saat ini 70 persen industri dan rumah tangga domestik masih menggunakan LPG sebagai bahan bakar.
Sehingga, keberlanjutan proyek ini dinilai tidak terlalu terdampak potensi resesi ekonomi yang saat ini akan melanda Indonesia. Toh, dalam keadaan resesi pun, kebutuhan energi untuk kebutuhan dapur misalnya, akan terus eksis.
“Untuk aspek keekonomian, yang jelas harga DME nantinya tidak akan lebih mahal dari LPG yang ada di pasar. Sebab tidak ada komponen biaya impor dan komponen dolar Amerika Serikat,” terang Arviyan.