Edhy Terjerat Kebijakannya Sendiri Soal Ekspor Benih Lobster
Edhy menilai ekspor benih lobster tidak hanya melibatkan korporasi tapi juga nelayan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengamankan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo di Bandara Soekarno Hatta pada Rabu (25/11) dini hari. KPK mengungkapkan tangkap tangan terhadap Edhy berkaitan dengan ekspor benih lobster atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Edhy terjerat kasus kebijakan yang ia keluarkan sendiri. Edhy mencabut aturan Menteri KKP sebelumnya, Susi Pudjiastuti, yang melarang tegas ekspor benih lobster. Pencabutan larangan ekspor ini tercantum dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia pada Mei 2020.
Rencana pencabutan larangan ekspor sendiri telah Edhy sampaikan tak lama sejak menjabat sebagai Menteri KKP pada Oktober 2019. Saat membuka secara resmi ajang Aquatica Asia dan Indoaqua 2019 di Balai Kartini, Jakarta, 6 November 2019, Edhy menyinggung beberapa kebijakan seperti larangan penanganan benih lobster yang banyak dikeluhkan masyarakat. Kala itu, Edhy menyebut pelarangan ekspor benih lobster dilakukan semata-mata untuk mengendalikan penyelundupan ekspor benih lobster ke negara-negara lain.
"Pasalnya, nilai jual benih lobster sangat rendah dibandingkan lobster dewasa sehingga negara pun kehilangan nilai tambah devisa ekspor," kata Edhy.
Meskipun begitu, Edhy mengaku akan mencari solusi untuk budidaya lobster. Sejumlah anggota Komisi IV DPR pun telah menyampaikan pandangannya atas rencana pencabutan ekspor benih lobster.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PKS Johan Rosihan menilai perlu adanya penguatan industri budidaya lobster dalam negeri, termasuk hatchery dan pembesaran lobster. Johan mengatakan apabila kebijakan larangan ekspor benih lobster tetap diteruskan, maka pemerintah perlu memberi alternatif mata pencaharian bagi nelayan lobster beserta pendampingan dan insentif pendapatan. Sementara jika larangan ekspor benih lobster dicabut, Johan meminta pemerintah menetapkan ketentuan-ketentuan yang ketat agar tidak merugikan negara.
"Jika kebijakan ekspor dibuka, ekspor lobster harus dilakukan secara langsung ke negara tujuan jangan melalui Singapura untuk mendapatkan harga pada tingkat nelayan yang kompetitif," ujar Johan pada 15 Desember 2019.
Johan juga berharap pemerintah memaksimalkan peran masyarakat atau komunitas nelayan dalam pengelolaan lobster melalui peningkatan kapasitas dan teknologi.
"Riset-riset untuk pengembangan komoditas ekonomis penting perlu terus dilakukan dan diberi target utk mendapatkan hasil atau inovasi yang berguna bagi pengembangan lobster di Indonesia," ucap Johan.
Sementara, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Demokrat Herman Khaeron meminta wacana ekspor benih lobster dikaji kembali. Herman mengaku mengapresiasi sikap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang menggulirkan wacana ini.
Herman menilai dibukannya kembali ekspor benih lobster akan memberikan keuntungan bagi masyarakat yang selama ini berusaha di sektor tersebut. Meski begitu, Herman juga meminta pemerintah mengkaji secara matang sebelum membuka kembali ekspor benih lobster. Herman mengaku sejak lama mengusulkan kajian yang mendalam mengenai benih lobster.
"Pelarangan semestinya dimanfaatkan, kalau bisa dibudidayakan itu, semestinya ini bisa menjadi peluang," kata Herman.
Herman mengatakan apabila kebijakan ekspor benih lobster hanya memberikan nilai tambah bagi negara lain, lebih baik dibudidayakan dalam negeri. Herman berharap adanya kajian mendalam tentang persoalan ini, termasuk adanya ketentuan yang ketat apabila kebijakan ekspor benih lobster kembali dibuka. Herman mengatakan DPR tentu akan melakukan pembicaraan dengan Menteri KKP mengenai hal ini.
Lembaga Pemerhati Lingkungan, Blue Green Indonesia menilai wacana Edhy membuka kembali keran ekspor benih lobster dan mencabut Peraturan Menteri KP Nomor 56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) dari Wilayah Republik Indonesia, terlalu tergesa-gesa. Ketua Umum Blue Green Indonesia Dian Sandi Utama mengatakan, semestinya Edhy memperbanyak kunjungan ke beberapa daerah terlebih dahulu menemui para nelayan dan masyarakat yang bergerak di bidang budidaya agar apa yang akan diwacanakannya tidak menjadi kontroversi seperti sekarang ini.
"Wacana keputusan ini sangat jauh dari ekspektasi kami terhadap Pak Edhy sebenarnya," ujar Dian.
Dian mengatakan sebaiknya kebijakan pelarangan ekspor benih lobster tetap dipertahankan, kemudian Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong tumbuhnya percepatan industri budidaya dalam negeri.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) sudah merasa ada kejanggalan sejak mundurnya Zulfikar Mochtar dari Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Juli lalu. Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati menilai keputusan mundurnya Zulficar tak lepas dari sejumlah kebijakan yang diambil Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
"Kami mengkhawatirkan ada visi yang dianggap tidak sejalan dan tentu KKP harus babat hambatan mereka. Salah satunya ya mencabut orang-orang yang dianggap pro terhadap Permen (Peraturan Menteri) 71," ujar Susan.
Susan menilai pengunduran diri Zulfikar Mochtar tidak terjadi di ruang kosong. Menurut Susan, ada persoalan serius di KKP sehingga sosok seperti Zulfikar memutuskan mengundurkan diri. Susan menduga keputusan mundurnya Zulfikar sangat terkait dengan sejumlah kebijakan yang telah, tengah, dan akan dikeluarkan Edhy, khususnya kebijakan izin ekspor benih lobster sebagaimana terlampir dalam Peraturan Menteri KP No. 12 Tahun 2020, rencana revisi Permen 71 Tahun 2016 yang akan mengizinkan kembali penggunaan alat tangkap merusak semacam cantrang. Sebagaimana diketahui, kebijakan ekspor benih lobster dan Permen 71 Tahun 2016 ada di bawah tanggung jawab Dirjen Perikanan tangkap.
"Mundurnya Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI di tengah lahirnya kebijakan izin ekspor benih lobster dan rencana revisi Permen 71 Tahun 2016 merupakan perlawanan Zulfikar terhadap kebijakan Menteri KP. Ini pukulan telak bagi Edhy Prabowo," ucap Susan.
Susan menyampaikan keterkaitan pengunduran diri Zulfikar, khususnya dengan izin ekspor benih lobster, sangat terang dan dapat dilihat publik. Pasalnya, dalam proses ekspor benih lobster pada 12 dan 17 Juni 2020 lalu, Zulficar tidak dilibatkan. Dengan mundurnya Zulfikar, Susan mendesak Edhy mencabut Permen No. 12 Tahun 2020 dan tidak melakukan revisi terhadap Permen 71 Tahun 2016 yang melarang penggunaan alat tangkap merusak. Susan menambahkan pengunduran diri Zulfikar sebagai penanda kebijakan ekspor benih lobster di lingkaran inti Edhy tidak mendapatkan dukungan yang sangat kuat.
"Kebijakan ekspor benih lobster serta praktik ekspornya penuh dengan masalah, tidak didukung masyarakat luas dan tidak didukung lingkaran A1 Menteri Kelautan dan Perikanan. KKP sudah tidak sehat sejak menteri baru, makanya tekanan kami ya reshuffle, kalau tidak, habis semua laut kita," kata Susan.
Derasnya kritikan tak mengendurkan semangat Edhy untuk tetap mencabut larangan ekspor benih lobster. Edhy tak menampik wacana pencabutan kebijakan larangan ekspor benih lobster menuai polemik. Kendati begitu, dia mengaku tidak mempermasalahkan hal tersebut. Hal ini dia katakan saat "Temu Stakeholders Pendidikan dan Bisnis Kelautan dan Perikanan" di Ballroom Gedung Mina Bahari 3, Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (16/12).
Edhy mengungkapkan besarnya potensi lobster dalam negeri, di mana Indonesia dikenal sebagai penghasil benih lobster terbanyak di dunia. Edhy berpikir mengapa Indonesia tidak melakukan pembesaran benih lobster sendiri.
"Kalau budidaya ada pembiakannya. Sekarang penelitian baru 30 hari sampai 40 hari lalu mati. Kalau 1 hari sampai 30 hari sudah ada ujinya, berarti ada upaya hingga dia bisa menjadi besar," lanjutnya.
Edhy menyebut sejumlah tempat di Indonesia yang dikenal sebagai penghasil benih lobster terbesar, mulai dari Pulau Jawa hingga yang ada di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Edhy akan menginventarisir segala macam kendala dalam mewujudkan budidaya benih lobster dengan menggandeng kementerian atau lembaga terkait.
Edhy menilai sektor benih lobster menyimpan potensi besar. Sembari terwujudnya program budidaya, Edhy mengingatkan ada masyarakat yang selama ini hidupnya bergantung pada penangkapan benih lobster ini. Edhy menambahkan, untuk membesarkan benih lobster membutuhkan infrastruktur yang memadai.
"Sambil menunggu ini, kita kasih kuota (ekspor) sampai waktu tertentu boleh ekspor. Banyak komoditas lain yang dilakukan seperti itu, pasir besi, nikel," kata Edhy.
Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Gedung DPR, Jakarta, pada Selasa (23/6), Edhy mengaku telah melakukan kajian sebelum memutuskan untuk mengizinkan ekspor benih lobster. Kata Edhy, alasan utama KKP mengizinkan ekspor benih lobster untuk membantu belasan ribu nelayan kecil yang kehilangan mata pencarian akibat terbitnya Permen KP 56/2016. Permen tersebut melarang pengambilan benih lobster baik untuk dijual maupun dibudidaya. Edhy menepis anggapan Permen KP No.12 tahun 2020 yang mengatur soal ekspor benih lobster condong ke kepentingan korporasi.
Edhy menilai ekspor benih lobster tidak hanya melibatkan korporasi tapi juga nelayan. Edhy menyebut terdapat 13 ribu nelayan yang menggantungkan hidup dari mencari benih lobster.
"Ini sebenarnya yang menjadi perdebatan, karena akibat ekspor dilarang mereka tidak bisa makan. Mereka tidak punya pendapatan. Ini sebenarnya pertimbangan utama kami," lanjut Edhy.
Edhy menyampaikan perusahaan yang mendapat izin ekspor tak asal tunjuk, melainkan harus melewati proses admistrasi hingga uji kelayakan. Edhy menegaskan ekspor benih lobster juga tidak terus menerus dilakukan. Bila kemampuan budidaya di Indonesia semakin baik, otomatis benih yang ada dimanfaatkan sepenuhnya untuk kebutuhan pembudidaya di dalam negeri.
Seraya meningkatkan kapasitas budidaya lobster dalam negeri, Edhy ingin pemasukan bagi negara berjalan. Hal itu yang menjadi alasan ekspor benih lobster dikenakan pajak dan besarannya tergantung margin penjualan.
"PNBP ini sangat transparan. Hanya mereka yang mengekspor saja yang bayar, bukan nelayan atau yang cuma berbudidaya. Aturan PNBP pun disesuaikan dengan harga pasar," ucap Edhy.
Edhy menyebut sejumlah syarat yang harus dipenuhi eksportir benih lobster, mulai dari kemampuan berbudidaya hingga komitmen menggandeng nelayan dalam menjalankan usaha budidaya lobster. Edhy menyebut Permen KP Nomor 12 tahun 2020 mendorong budidaya lobster nasional yang selama ini terhambat karena larangan mengambil benih lobster.
KKP juga mewajibkan eksportir menggandeng nelayan dalam menjalankan usaha budidaya lobster. Edhy memastikan, proses seleksi menjadi eksportir benih lobster terbuka untuk siapa saja baik perusahaan maupun koperasi berbadan hukum. Selama pengaju memenuhi persyaratan dan kualifikasi, KKP tidak akan mempersulit. Bahkan agar proses seleksi hingga ekspor berjalanan sesuai prosedur dan ketentuan hukum, semua dirjen dilibatkan termasuk bagian inspektorat.
"Ada cerita-ceritanya saya yang menentukan salah satu perusahaan. Tidak benar itu. Sudah ada timnya. Tim budidaya, tim perikanan tangkap, karantinanya, termasuk saya libatkan irjen. Semuanya terlibat, ikut turun tangan," ucap Edhy.
Edhy mengaku siap diaudit atas keputusannya mengeluarkan izin ekspor benih lobster, termasuk audit proses seleksi perusahaan penerima izin ekspor. Edhy juga tidak tahu ada orang dekatnya yang menerima izin eskpor benih lobster. Hal ini dikatakan Edhy usai berdialog dengan nelayan di TPI Karangsong, Indramayu, Jawa Barat.
"Saya sendiri tidak tahu kapan mereka daftarnya karena ada tim sendiri yang memutuskan izin ini, terdiri atas semua dirjen, termasuk irjen. Silakan saja kalau curiga, itu biasa. Silakan audit, cek, KKP sangat terbuka," kata Edhy.
Edhy menyampaikan pendaftaran perusahaan eksportir benih lobster ditangani tim yang terdiri atas semua eselon I KKP, termasuk pihak inspektorat yang tugasnya mengawasi. Edhy memastikan tidak mencampuri apalagi mengintervensi proses pemberian izin bagi pendaftar eksportir benih lobster.
Edhy mengajak masyarakat menitikberatkan pengawasan pada proses pemberian izin, bukan malah mengurusi perusahaan siapa yang mendapat izin. Edhy menyebut perusahaan atau koperasi mana pun boleh mengajukan sebagai eksportir benih lobster. Edhy mengaku banyak yang menilainya macam-macam lantaran ada dua-tiga nama perusahaan yang dikaitkan dengan dirinya. Hal ini tak sebanding dengan puluhan perusahaan yang mendapat izin.
"Karena saya menteri, semua temen-teman saya tidak boleh berusaha? Saya pikir yang penting bukan itu, tapi adilnya. Kesamaan pada siapa saja seleksi itu. Saya tidak memperlakukan istimewa sahabat-sahabat saya," ucap Edhy.
Edhy tidak mempersoalkan kritikan terkait keputusannya mengizinkan pengambilan dan ekspor benih lobster. Edhy menilai keputusan tersebut sudah berdasarkan kajian ilmiah dan mengikuti semua prosedur. Alasan utamanya mengeluarkan izin tersebut ingin menghidupkan kembali puluhan ribu nelayan penangkap benih yang kehilangan pekerjaan dan mendorong majunya budidaya lobster nasional tanpa mengabaikan keberlanjutan.
"Saya tidak peduli di-bully, yang penting saya berbuat yang terbaik untuk masyarakat saya. Saya enggak takut dikuliti karena yang saya perjuangkan bagaimana masyarakat kita bisa makan, dan itu sesuai perintah presiden," lanjut Edhy.
Edhy menjelaskan pengambilan benih lobster dari alam dan izin ekspor diatur dalam Pemen KP Nomor 12 tahun 2020 yang terbit awal Mei 2020. Aturan ini turut mewajibkan eksportir melakukan budidaya lobster dan melepasliarkan dua persen hasil panen ke alam. Benih yang dibudidaya harus dibeli dari nelayan dengan harga minimal Rp 5 ribu per ekor.