Lima Hal dalam RUU Baru Prancis Soal Islam
Lima hal yang perlu diketahui dalam RUU baru Prancis soal Islam.
REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Rancangan Undang Undang (RUU) baru yang digodok Pemerintah Prancis dengan dalih memerangi radikalisme dan ekstremisme menuai pro dan kontra. Alasannya adalah sematan terhadap agenda itu yang dikaitkan dengan Islam, berikut lima hal yang tertuang dalam RUU baru tersebut yang berkaitan dengan Islam.
Dilansir di Politico, Kamis (10/12), kekhawatiran bahwa ekstremis Islam menciptakan komunitas dan menanamkan ide-ide yang memisahkan mereka dari nilai-nilai republik Prancis telah kembali muncul sebagai masalah utama dalam politik Prancis dalam beberapa bulan terakhir.
Sebabnya dimulai dari tiga serangan mematikan oleh kelompok radikal Islam yang terjadi di Prancis selama empat pekan di musim gugur ini. Peristiwa demi peristiwa itu memicu perdebatan publik yang menegangkan tentang untaian sekularisme Prancis, yang dikenal sebagai laïcité, tempat Islam dan kebebasan individu.
Beberapa kritikus, terutama di luar Prancis, menyebut kebijakan Macron sebagai tidak liberal dan memicu tanggapan keras dari presiden dan sekutunya. Kini RUU yang semula dideskripsikan tentang separatisme, lalu bertajuk menopang penghormatan terhadap prinsip-prinsip Republik akhirnya telah diajukan.
Secara simbolis, Pemerintah Prancis mengirimkan RUU itu ke parlemen pada peringatan 115 tahun undang-undang 1905 tentang pemisahan gereja dan negara, yang merupakan landasan republik Prancis. Berikut adalah lima hal yang perlu diketahui tentang RUU tersebut, yang akan diperdebatkan Majelis Nasional pada bulan Januari, dengan kemungkinan melakukan amandemen.
1. Menceritakan Kelalaian
Tidak ada dalam teks rancangan undang-undang tersebut yang memuat kata Islamisme atau separatisme sama sekali dalam upaya yang jelas untuk menghindari kritik bahwa RUU tersebut menargetkan Muslim.
Namun, ketika diminta untuk memberikan contoh masalah yang perlu dibatasi, Perdana Menteri Jean Castex hanya mengutip perilaku yang terkait dengan Islamisme dalam sebuah wawancara dengan Le Monde yang meninjau RUU tersebut merujuk pada anak-anak yang menolak bermain dengan non-Muslim atau melafalkan Alquran sambil menutup telinga di kelas musik.
Lebih jauh, dalam pidatonya yang penting tentang masalah pada tanggal 2 Oktober, Macron mengatakan bahwa penting untuk menyebutkan sesuatu dengan jelas dan secara eksplisit berbicara tentang separatisme Islam. Dan dalam dokumen yang menguraikan motif pemerintah mengajukan RUU tersebut, Islamisme radikal adalah satu-satunya bentuk separatisme yang disebutkan secara eksplisit.
“Infiltrasi komuniter yang berbahaya tapi kuat perlahan-lahan merusak fondasi masyarakat kita di beberapa daerah. Infiltrasi ini sebagian besar merupakan inspirasi Islamis,” bunyi dokumen itu.
2. Langkah-langkah Kunci
RUU itu bertujuan untuk memperkuat alat hukum yang tersedia bagi pemerintah untuk membatasi radikalisme Islam agar tidak menguasai masyarakat Prancis.
Ini menciptakan tindak pidana baru dengan mengancam karyawan sektor publik atau menggunakan kekerasan untuk memaksa mereka membuat pengecualian pada aturan publik, seperti memaksa pejabat lokal untuk menetapkan jam kolam renang terpisah untuk wanita dan pria.
Hal ini menciptakan pelanggaran baru untuk perkataan yang mendorong kebencian yang memungkinkan untuk dengan cepat menahan seseorang yang menyebarkan di media sosial informasi pribadi dari agen layanan publik dengan maksud untuk merugikan mereka sebagai reaksi langsung terhadap peristiwa yang menyebabkan pemenggalan kepala guru sekolah Samuel Paty, Oktober lalu.
RUU itu juga memperluas apa yang dikenal di Prancis sebagai prinsip netralitas, yang melarang pegawai negeri memakai simbol-simbol keagamaan yang mencolok seperti jilbab Muslim dan menyuarakan pandangan politik, di luar karyawan sektor publik hingga semua kontraktor swasta layanan publik.
Ini memperkenalkan kontrol keuangan yang lebih ketat atas uang asing yang dikirim ke organisasi keagamaan, dan kontrol yang lebih ketat atas asosiasi agama untuk mencegah pengambilalihan oleh ekstremis.
Rancangan undang-undang membatasi kemungkinan anak-anak homeschooling, memperkenalkan hukuman yang lebih keras untuk tes keperawanan, dan perlindungan yang lebih ketat terhadap kawin paksa, serta lebih banyak perangkat hukum untuk memastikan laki-laki dan perempuan mendapatkan warisan secara adil. Hukum Syariah Muslim memberikan warisan yang lebih besar kepada pria daripada wanita.
3. Perubahan Penting
Pemerintah pada awalnya berencana untuk memasukkan klausul yang menggarisbawahi perlunya setiap anak usia sekolah memiliki nomor pengenal nasional untuk memastikan semuanya diperhitungkan, baik bersekolah di sekolah umum, sekolah swasta atau bersekolah di rumah. Klausa itu telah hilang dari teks.
Sebagian besar siswa sudah memiliki pengenal siswa nasional, tetapi sekitar dua persen siswa usia sekolah saat ini tidak memilikinya, menurut seorang pejabat di kementerian pendidikan. Pemerintah masih mempertimbangkan untuk melakukan amandemen dengan mekanisme teknis untuk memperluas cakupan ke semua siswa.
Ketika Macron mempresentasikan visinya tentang perang melawan separatisme Islam dalam pidatonya yang penting di pinggiran kota Paris pada 2 Oktober lalu, dia menemukan keseimbangan antara tindakan hukum untuk menindak ekstremis dan tindakan sosial untuk mengatasi masalah seperti marginalisasi sebagian Muslim dan lainnya dalam masyarakat Prancis.
Tetapi RUU khusus ini sangat difokuskan pada langkah-langkah untuk membantu menegakkan hukum dan menghukum perilaku ekstremis. Langkah-langkah sosial-ekonomi sebagian besar tidak ada, meskipun para pejabat mengatakan mereka akan mengikuti.
4. Kemungkinan Kontroversi
Pejabat Prancis bersikeras bahwa RUU itu tidak ditujukan untuk Muslim tetapi masih bisa dianggap seperti itu.
“Seharusnya tidak ada kesalahpahaman. Ini sama sekali bukan tindakan melawan agama. Ini tidak bertentangan dengan Islam, itu melawan orang-orang yang atas nama visi yang salah atau direkonstruksi dari suatu agama berperilaku dengan cara yang bertentangan dengan republik,” kata seorang pejabat Elysée.
Namun anggota parlemen dari La République en Marche, partai Macron, mengatakan bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk memperkenalkan amandemen pada draf tersebut dengan langkah-langkah untuk melarang orang tua meminta putri kecil mereka mengenakan jilbab.
RUU tersebut juga berisiko mengenai orang dan organisasi yang bukan target yang dimaksudkan. Yakni memaksa orang tua untuk mencari otorisasi ke homeschool alih-alih sistem saat ini yang hanya mengharuskan mereka untuk mengungkapkan bahwa mereka melakukannya dapat memicu reaksi balik di antara orang tua yang melakukan homeschooling.
Menurut pejabat Prancis, dari 62 ribu siswa saat ini yang bersekolah di rumah secara nasional, sekitar 5.000 mungkin dididik dalam struktur ad-hoc yang tidak menghormati kurikulum atau persyaratan Prancis.
Dan persyaratan pelaporan baru untuk sumbangan luar negeri lebih dari 10 ribu euro, terutama ditujukan untuk mengekang uang tunai dari kaum Islamis di luar negeri, dapat mencapai asosiasi keagamaan kecil lainnya, seperti asosiasi evangelis yang menerima dana dari AS atau di tempat lain.
5. Nomor Hilang
Tes keperawanan, kawin paksa, dan anak-anak homeschooling di ruang bawah tanah di mana gadis-gadis berusia tiga tahun dipaksa mengenakan jilbab adalah beberapa contoh utama yang Macron dan menteri-menteri pemerintah terkemuka telah mencap sebagai kasus perilaku Islam yang bertentangan dengan nilai-nilai republik yang membutuhkan untuk diperangi.
Tetapi pejabat pemerintah belum dapat memberikan data untuk membuktikan bahwa ini adalah masalah dalam skala yang signifikan. Mereka tidak memiliki angka untuk jumlah tes keperawanan yang dilakukan di Prancis, juga tidak memiliki statistik tentang pernikahan paksa. Namun, mereka mengatakan bahwa LSM menyebutkan jumlah kawin paksa di Prancis 200 ribu. Mereka juga berjuang untuk mengukur seberapa luas masalah memaksa gadis-gadis muda untuk mengenakan jilbab sebenarnya.
Sumber:
https://www.politico.eu/article/france-law-emmanuel-macron-islamist-separatism-security/