Tren Vonis Ringan Koruptor yang Terus Terulang

Tuntutan ringan ke koruptor bukti tidak pekanya aparat hukum.

ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Terdakwa perantara pemberi suap kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari, Andi Irfan Jaya (kanan) menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (28/12/2020). Andi Irfan Jaya dituntut 2 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 4 bulan kurungan dalam kasus suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) dalam perkara pidana Djoko Tjandra.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Rizkyan Adiyudha

Tren tuntutan dan vonis ringan dalam perkara korupsi kembali terulang di sepanjang 2020. Pada 2019, vonis koruptor rata-rata menerima hukuman 2 tahun 7 bulan penjara saja.

Ringannya tuntutan dan vonis padahal dinilai tidak memberikan efek jera yang nyata terhadap koruptor. Terbaru, dalam perkara pengurusan red notice Djoko Tjandra, perantara suap Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya dituntut 2,5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum. Perantara suap lainnya, pengusaha Tommy Sumardi telah divonis dua tahun penjara.

Menanggapi ringannya tuntutan dan vonis dalam perkara Djoko Tjandra, Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) Allan Fatchan Gani menilai, pemberantasan korupsi tidak akan pernah maju jika penuntut umum dan majelis hakim masih memandang biasa ihwal perkara korupsi tersebut. Seharusnya, kata Allan, jaksa penuntut umum mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan ketika menuntut seseorang, terlebih dalam kasus Djoko Tjandra faktanya hukum tidak dapat ditegakkan dengan baik.

"Tuntutan yang ringan terhadap kejahatan yang sistematis adalah bukti tidak pekanya aparat terhadap penegakan hukum yang transparan dan berkeadilan, " kata Allan kepada Republika, Selasa (29/12).

Allan mengatakan, ketika semua tuntutan tiba-tiba menjadi ringan, maka menjadi tugas hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan. Karena, kata Allan, korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan upaya-upaya untuk menanganinya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa pula.

"Penuntut dan hakim harus sama-sama lebih peka dalam menangani kasus korupsi yang sudah akut di Indonesia. Komitmen penegak hukum harus berorientasi tidak hanya menegakkan hukum saja, tapi juga keadilan," tegasnya.

Dikonfirmasi terpisah, peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, mengatakan tuntutan dan vonis ringan terhadap para terdakwa di perkara suap Djoko Tjandra menunjukan tidak ada keseriusan para aparat penegak hukum memberantas korupsi di Indonesia. Padahal, kasus suap Djoko Tjandra telah menarik perhatian publik seharusnya benar-benar diproses secara profesional.

"Seharusnya aparat penegak hukmum mengoptimalkan ancaman pidana yang diatur dalam pasal yang didakwakan, JPU juga harusnya menuntut dengan ancaman paling maksimal, majelis hakim pun seharusnya memutus dengan pidana maksimal," tegasnya.

Zaenur menilai dengan kisaran vonis dua tahun yang diberikan oleh majelis Hakim menunjukan rendahnya keseriusan aparat penegak hukum dalam menangani perkara mafia hukum Djoko Tjandra. "Kasus ini sangat serius ya, di mana aparat penegak hukum menggunakan kewenangannya dan membantu  seorang buronan negara sehingga menurut saya, kasus ini memiliki dimensi yang sangat merusak sistem hukum dan kewibawaan aparat serta penegak hukum, dan ini bisa menurunkan kepercayaan masyarakat," tuturnya.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menilai masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia suram bila melihat ringannya vonis yang dijatuhkan kepada para terdakwa kasus korupsi. "Nasib pemberantasan korupsi di masa mendatang akan semakin suram jika Mahkamah Agung tetap mempertahankan tren vonis ringan kepada terdakwa kasus korupsi," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

ICW mencatat rerata hukuman pelaku korupsi sepanjang tahun 2019 hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Dari 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada 2019, 842 orang divonis ringan (0-4 tahun penjara) sedangkan yang divonis berat (di atas 10 tahun penjara) hanya 9 orang.

"Belum lagi vonis bebas atau lepas yang berjumlah 54 orang," ujar Kurnia.

Selain vonis hukuman penjara, ICW menilai pemulihan kerugian negara juga sangat kecil.
Oleh karenanya, ICW terus mendorong pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Hal ini lantaran substansi aturan yang terdapat dalam Undang-undang saat ini menimbulkan problematika yang dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

"Pembentuk Undang-Undang, baik  Presiden atau DPR, harus merevisi  Undang Undang Pemberantasan Tindak  Pidana Korupsi. Sebab, problematika substansinya akan melemahkan  agenda  pemberantasan  korupsi," tegas Kurnia.

Kurnia mencontohkan Pasal 11 dan Pasal 12 UU Tipikor saat ini mengatur mengenai penyelenggara negara yang menerima suap. Namun, hukuman yang diatur kedua pasal tersebut berbeda. Pasal 11 mengatur hukuman maksimal 5 tahun, sementara Pasal 12 mengatur hukuman maksimal 20 tahun pidana penjara bahkan seumur hidup. Demikian juga dengan jarak pidana penjara antara Pasal 2 dan Pasal 3 masih perlu untuk direformulasi.  

"Selain itu perubahan konsep  pengenaan denda juga harus juga  diakomodir," katanya.

Kurnia menegaskan, ICW sudah seringkali menyuarakan revisi UU Tipikor atau perbaikan legislasi terkait pemberantasan korupsi. Namun, pemerintah dan DPR justru merevisi UU KPK yang justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

"Rasanya Presiden dan DPR tutup kuping ketika kita memberikan rekomendasi perbaikan legislasi pemberantasan korupsi karena dibenak mereka hanya bagaimana cara melemahkan KPK dengan merevisi UU KPK," katanya.

Bukan tanpa alasan desakan merevisi UU Tipikor disampaikan ICW. Hukuman terhadap koruptor masih ringan baik dari segi pidana penjara, denda maupun hukuman tambahan seperti uang pengganti.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan ICW sepanjang semester I 2020, rata-rata hukuman yang dijatuhkan pengadilan mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung terhadap terdakwa perkara korupsi hanya 3 tahun pidana penjara. Demikian pula hukuman denda yang rata-rata hanya Rp 122 juta.

Sementara uang pengganti yang dijatuhkan pengadilan terhadap terpidana korupsi masih jauh dibanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi. Dari total  kerugian negara sebesar Rp 39,2 triliun yang ditimbulkan akibat perkara korupsi yang disidangkan, hanya Rp 2,3 triliun uang pengganti yang dijatuhkan pengadilan.

Baca Juga






Sebelumnya, peneliti ICW Kurnia Ramadhana juga sudah menyinggung perihal kemunduran penindakan di era kepemimpinan Firli Bahuri. Terlihat ada kemuduran dari kinerja KPK saat ini utamanya di bidang penindakan berdasarkan catatan evaluasi setahun terakhir KPK yang dibuat oleh ICW dan Transparency Internasional (TII).

Kurnia mengatakan, berdasarkan data evaluasi itu, pada 2019 lalu, jumlah penyidikan mencapai 145 kasus. Saat ini pada periode Firli Bahuri hanya sebanyak 91 kasus. Penurunan juga terjadi pada penuntutan kasus. Jika pada 2019 ada 153 kasus yang masuk ke penuntutan, tahun ini hanya mencapai 75 kasus.

"Kemudian dalam konteks jumlah tangkap tangan, tahun 2020 KPK hanya melakukan tujuh tangkap tangan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, 2019 21 kali, 2018 30 kali, 2017 19 kali, dan 2016 17 kali," katanya.

KPK juga mengalami penurunan tingkat kepercayaan publik brrdasarkan hasil surveri yang dikeluarkan oleh Alvara Research Center, Indo Barometer, Charta Politica, LSI hingga Litbang Kompas. Penurunan itu disebabkan pemerintah yang telah meresmikan revisi UU KPK ditambah memilih sebagian besar pimpinan bermasalah.

KPK juga dianggap gagal meringkus buronan Harun Masiku yang jadi penyuap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Kurnia mengatakan, Ketua KPK bahkan terbukti melanggar kode etik karena menggunakan helikopter untuk kepentingan pribadinya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengklaim lembaganya telah menyelamatkan negara dari potensi kerugian Rp 592 triliun. Menurutnya, nominal tersebut jauh lebih besar dibanding pencapaian yang telah dilalukan pimpinan-pimpinan lembaga antirasuah periode sebelumnya.

"Hasil dari pencegahan yang dilakukan KPK telah menyelamatkan potensi kerugian negara selama satu tahun kami bekerja mencapai Rp 592 T jauh melebihi lima tahun kinerja periode sebelumnya yang mencapai Rp 63,4 T," kata Nurul Ghufron dalam keterangan, Selasa (29/12).

Hal tersebut dia sampaikan menyusul penilaian ICW yang menyebut penindakan yang dilakukan KPK era saat ini sudah melemah. Ghufron mengatakan, ICW harusnya bisa melihat berbagai aspek yang telah dilakukan oleh KPK saat ini.

Dia menuding ICW tidak melihat kinerja KPK yang hanya dengan kekuatan 25 persen SDM mampu bekerja mengawal dana Covid-19 dan mencapai hasil optimal. Dia menambahkan, hak tersebut dilakukan KPK saat kinerja lembaga lain tengah melambat akibat pandemi yang terjadi.

Dia menyebut ICW hanya memandang kinerja dan prestadu KPK dari penangkap koruptor. Dia melanjutkan, ICW tidak melihat kinerja KPK berdasarkan pencegahan apalagi mengedukasi masyarakat utntuk sadar dan tidak berperilaku korup.

Ghufron menngatakan, KPK yakin masyarakat dan rakyat indonesia lebih dewasa dan komprehensif seleranya dalam pemberantasan korupsi. Dia mengatakan, sehingga apa yang disampaikan ICW akan bertentangan dengan kesadaran anti korupsi rakyat.

"Rakyat indonesia orang yang sehat sehingga baik yang manis asin maupun kecut harus dilahap, KPK itu didirikan oleh negara dan didanai untuk mencegah dan menindak, karena itu KPK harus menindak kala ada tipikor, namun sebelum terjadinya tipikornya KPK juga harus mencegah dan menyadarkan penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak korup," katanya.

Kinerja KPK menjadi sorotan publik. - (Republika/Berbagai sumber diolah)
 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler