Anggota DPR Usul Polisi Siber Atasi Ribuan Penipuan Daring

Polisi Siber sebaiknya tidak bertugas menjalankan kontra-narasi di media sosial.

Republika/Wihdan Hidayat
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta
Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyarankan agar Polisi Siber lebih menggencarkan untuk mengatasi ribuan kasus penipuan daring yang telah merugikan masyarakat. Hal lebih baik dilakukan Polisi Siber dari pada menjalankan tugas kontra-narasi yang nantinya akan bertugas mengawasi kabar yang beredar di media sosial khususnya informasi hoaks.

Baca Juga


"Terkait dengan patroli polisi siber, tugas utama lain yang seharusnya ditingkatkan ialah penanganan kasus penipuan daring. Dalam 5 tahun terakhir jumlah laporan mencapai 13.520 dengan total kerugian mencapai Rp1,17 trilliun," kata Sukamta dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (30/12).

Menurut dia, dari data tersebut, laporan penipuan daring mencapai 7.047 kasus, lebih banyak dari laporan penyebaran konten provokatif yaitu sebanyak 6.745 kasus. Dia menilai, jumlah aduan dan kerugian yang besar namun tidak ada langkah serius dan strategis yang dilakukan pemerintah, namun malah sibuk melakukan kontra wacana terhadap pengkritiknya.

Sukamta mengatakan, fokus polisi siber yang lebih berat pada penindakan terhadap suara-suara kritis terhadap pemerintah, dikhawatirkan bisa mengebiri kebebasan berpendapat rakyat. "Indeks kebebasan sipil Indonesia tahun 2019 menurun dibandingkan tahun 2018 akibat dari kebebasan masyarakat dalam menyuarakan pendapat merasa dihalangi atau takut bersuara," ujarnya.

Dia menjelaskan, saat ini jarang terdengar suara kritis dari akademisi, ulama, intelektual. Ia mengatakan, mereka memilih diam, tidak berpendapat kritis terhadap pemerintah agar aman dari pasal-pasal karet dalam UU ITE.

Menurut dia, hal itu menjadi perseden buruk bagi kebebasan berpendapat, kebebasan berdemokrasi yang di jamin UUD 1945. Politisi PKS itu memberikan pesan kepada pemerintah, upaya kontra wacana bisa ditangkal jika pemerintah tidak memberi ruang atau bahkan memicu wacana berkembang liar yang pada akhirnya memunculkan hoaks.

"Informasi hoaks sering muncul akibat tidak jelasnya informasi dari pemerintah, respon yang lambat atas suatu kejadian sehingga ada lubang informasi. Lubang informasi itu kemudian diisi informasi hoaks, akibatnya masyarakat termakan isu tersebut," katanya.

Menurut dia, salah satu cara yang belum dilakukan secara maksimal pemerintah yaitu memaksimalkan peran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai kementerian yang mengelola komunikasi dan informasi.

Sukamta menilai, di satu sisi, penyebaran konten provokatif dan hoaks semakin massif dengan semakin mudah akses teknologi namun di sisi lain, masyarakat Indonesia masih lemah budaya literasi. Hal itu menurut dia menjadi penyebab utama mudahnya masyarakat menerima begitu saja informasi hoaks yang beredar.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler