Serikat Petani Tanggapi Masalah Mahalnya Kedelai Impor
Keterbatasan lahan jadi salah satu penyebab tak tercapainya produksi kedelai lokal.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga kedelai di pasaran melonjak dari Rp 7.200 menjadi Rp9.200 per kilogram. Akibatnya sebanyak 5.000 pelaku UKM di Ibu Kota sempat menyetop produksi. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, carut-marut kedelai merupakan imbas dari kebijakan pasar bebas sejak Indonesia menjadi anggota WTO tahun 1995 dan Letter of Intent (LOI) IMF dengan Pemerintahan Soeharto pada tahun 1998.
Awalnya, kata dia, produksi petani kedelai di tingkat lokal sanggup memenuhi 70-75 persen kebutuhan kedelai nasional, impor hanya sekitar 20 persen. "Kondisi sekarang terbalik, kedelai impor menjadi sumber utama kebutuhan kedelai nasional," kata Henry dalam siaran pers, Selasa (5/1).
Henry mengingatkan, pemerintah harus berhati-hati. Sebab, situasi saat ini bisa diartikan sebagai cara pedagang pasar global untuk terus perluas pasar kedelai di Indonesia. Kedelai impor ini pun bisa dipastikan adalah produk GMO (Genetically Modified Organism) yang diimpor dari Amerika Serikat, dan Amerika Selatan seperti Brasil dan Argentina.
“Gejolak harga kacang kedelai ini juga bisa sebagai upaya pengenalan benih kedelai hasil rekayasa genetik atau GMO untuk dikembangkan di Indonesia yang berpotensi besar menghilangkan benih-benih kedelai lokal. Untuk di Indonesia sendiri impor kedelai juga masih dikuasai oleh korporasi transnasional skala besar seperti Cargill,” katanya.
Henry menyebutkan kendati Indonesia mengimpor kedelai dalam jumlah yang besar, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada Indonesia masih termasuk negara yang mau memproteksi pasar dalam negerinya. Terdapat upaya untuk meningkatkan produksi dengan gerakan menanam kedelainya untuk memenuhi kebutuhan nasional.
“Hanya saja upaya untuk mengimpor kedelai ini dikhawatirkan akan semakin gencar usai hadirnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Sebab UU Cipta Kerja menghapus larangan impor bila kebutuhan dalam negeri mencukupi maupun prioritas penggunaan produk pangan domestik," kata dia.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri sebenarnya sudah diinisiasi oleh Kementerian Pertanian (Kementan). Kementerian Pertanian pada periode lalu meluncurkan program peningkatan produksi kacang kedelai melalui proyek pajale (padi jagung, dan kedelai) meskipun proyek itu gagal memenuhi target yang direncanakan.
"Kementerian Pertanian sempat menarget produksi kedelai pada 2019 bisa mencapai 2,8 juta ton untuk memenuhi kebutuhan yang diperkirakan mencapai 4,4 juta ton. Namun hingga Oktober 2019 hanya tercapai 480.000 ton atau 16,4 persen dari target. Pada 2018 juga sama, dari target 2,2 juta ton produksi kedelai, hanya terealisasi 982.598 ton," paparnya.
Henry melanjutkan, permasalahannya adalah bukan karena tidak bisa peningkatan tetapi faktor ketersediaan dan luas tanah yang kurang menjadi salah satu penyebab. Karena itu program reforma agraria harusnya bisa dipercepat untuk bisa memperluas lahan untuk tanaman kedelai dan pangan lainnya.
“Program pajale menanam di tanah yang sama. Petani tidak mau menanam padi, bersama dengan jagung atau kedelai. Petani pilih padi dan jagung saja, lebih mudah tanam padi diselingi dengan jagung, daripada padi dengan kedelai, walau tanah lebih subur," kata dia.