Meutya Hafid: RUU PDP Mendesak Disahkan
Draf RUU PDP dinilai masih perlu diperbaiki dalam pembahasan DPR dan pemerintah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Ketua Komisi I DPR Meutya Viada Hafid menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pirbadi (RUU PDP) mendesak diselesaikan. Menurut Kapoksi Fraksi Golkar di Komisi I ini, UU PDP merupakan jawaban dari tantangan zaman yang memuat secara utuh perlindungan data pribadi masyarakat Indonesia.
Selama ini, Meutya mengatakan, aturan perlindungan data pribadi tersebar di berbagai aturan. Padahal, pengaturan data pribadi harus dilakukan secara komprehensif. Meutya menegaskan, Fraksi Golkar akan mengawal dan mendorong pembahasan RUU PDP segera diselesaikan.
“Kami dari Poksi Komisi I mengawal dan mendorong agar RUU PDP ini dapat segera disahkan,” tutur Meutya saat membuka webinar 'RUU PDP untuk Kita' dari Fraksi Partai Golkar, Senin (25/1).
Ia menambahkan, ada sejumlah isu penting yang harus ada dalam materi RUU PDP. Antara lain, penegasan terkait pengaturan hak-hak pemilik data pribadi, kewajiban dan tanggungjawab pengelola data pribadi, sampai ancaman hukuman penyalahgunaan data pribadi. Selain itu, RUU PDP ini akan menjadi dasar hukum pembentukan otoritas pengawas independen.
“Otoritas Pengawas Independen ini harus terbebas dari kepentingan politik, swasta, atau pihak manapun,” tegasnya. Meutya menegaskan, hukum perlindungan data pribadi bersifat mengikat kepada seluruh pihak. Baik, masyarakat, maupun pemerintah.
Publik figur Ririn Dwi Ariyanti mengaku sebagai pihak yang sangat menunggu pengesahan RUU PDP. Ia mengaku pernah menjadi pihak yang dirugikan akibat penyalahgunaan data pribadi untuk kepentingan pihak lain. “Pernah foto saya diambil untuk sebuah produk. Padahal saya tidak pernah merasa kapan ada foto bersama produk itu,” tutur Ririn.
Ia menambahkan, masyarakat saat ini tengah menunggu DPR dan pemerintah mengesahkan RUU PDP. Namun, Ririn mengingatkan, selain mengandalkan aturan dari pemerintah, masyarakat sebaiknya membentengi diri dari penggunaan media sosial secara berlebihan. Artinya, setiap individu harus memiliki filter terkait konten yang dibagikan dalam media sosialnya masing-masing. “Minimal dari diri kita yang bisa jaga diri kita. Misalnya untuk rumah, nomor telepon, plat mobil, itu salah satu cara memfilter dari diri kita sendiri,” tegas dia.
Sementara, Marshal Pribadi, perwakilan Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menegaskan dukungannya terhadap pengesahan RUU PDP. Sebab, RUU ini diprediksi meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan fintech. “Masyarakat akan merasa lebih aman dan tenang datanya akan diproses untuk kepentingan baik usaha maupun bisnis,” ujar Marshal.
Namun, dalam catatan Aftech, ada beberapa hal yang perlu dibenahi berdasarkan draf RUU PDP terakhir yang mereka terima. Terutama terkait ketentuan pidana pada pasal 61 draf RUU PDP. Di pasal itu disebutkan setiap orang yang dengan sengaja mengumpulkan data pribadi, dapat merugikan pemilik data pribadi, diancam pidana paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 50 miliar.
Marshal menyarankan agar DPR dan pemerintah meninjau ulang penerapan pidana pada pasal ini. Selain itu, dibutuhkan kategorisasi pada penerapan hukuman denda. Jangan sampai hukuman denda antara pelaku UMKM disamakan dengan perusahaan multinasional.
“Saran kami, ada kriteria untuk menentukan besaran denda. Misalnya besar kecilnya perusahaan, berapa kali mereka melanggar,” ujar Marshal.