Kopi Sumatra Utara Bergulat di Tengah Pandemi

Penjualan kopi Sumatra Utara bergulat untuk tetap harum di tengah pandemi.

Biji kopi Sipirok dan biji kopi luwak Sipirok yang berada di etalase Sipirok Coffee
Red: Yudha Manggala P Putra

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Hampir setahun pandemi berlangsung. Dampaknya terasa pada semua bidang usaha. Termasuk bisnis kopi. Pembatasan jam operasional membuat sebagian usaha kedai kopi yang tadinya menggeliat menjadi tersendat. Penjualan kopi pun bergulat menghadapi penurunan drastis.

Hal ini dialami pedagang ritel biji kopi asal Kota Medan, Sumatra Utara, Fachriz Tanjung. Menurutnya pandemi membuat penjualan kopi terganggu. "Sebelum pandemi, setiap bulan penjualan kopi biasanya mencapai 2 ton. Tetapi, sejak Covid-19 merebak Maret 2020, penjualan turun hampir 80 persen," ujarnya.



Di antara penyebabnya adalah kebijakan pembatasan sosial berskala besar dan pembatasan jam operasional di malam hari hingga pemberlakuan jam malam. Akibatnya, beberapa usaha kedai kopi, cafe, memilih menutup sementara usaha mereka ketika kebijakan tersebut diberlakukan. Beberapa di antaranya terpaksa tutup, tidak buka sama sekali.

Penjualan biji kopi di pasar domestik pun kian tertekan. Meski beberapa kafe dan kedai kopi masih ada tetap melayani penikmat kopi dengan sistem take away (bawa pulang).

"Akhirnya kita sebagai pemasok biji kopi, mengambil skema win-win solution. Jika selama ini jaringan bisnis retail dengan model beli putus, maka sekarang kita kasih waktu jeda pembayaran sesuai waktu yang disepakati," ujar Fachriz yang juga mengekspor kopinya ke luar negeri ini.

Langkah tersebut sedikit memberi angin segar. Penjualan biji kopi seperti Lintong, Mandailing, dan Sipirok dari Sumatra Utara mulai bangkit. Dari sempat anjlok di 20 persen, kini menjadi 40 persen per bulan di pasar domestik. Meski begitu, pemulihan belum bisa 100 persen.

Ekspor Turun
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut mengungkapkan, sepanjang Januari hingga November 2020, volume ekspor komoditas kopi dari Sumut turun 12 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

"Pada Januari-November 2020, total volume ekspor kopi dari Sumut 53.585 ton. Sedangkan di Januari-November 2019 volume ekspor kopi capai 61.176 ton atau terjadi penurunan sebesar 7.591 ton," ujar Kepala BPS Sumut Syech Suhaimi.

Penurunan lebih dalam ditunjukkan oleh nilai ekspor kopi Sumut yang mengalami kehilangan sebesar 23 persen sepanjang Januari-November 2020 dibandingkan periode tahun sebelumnya.

Nilai devisa ekspor kopi Sumut pada Januari-November 2020 sebesar 259,114 juta dolar AS. Pada periode sama 2019 nilainya lebih tinggi, 337.293 juta dolar AS. "Ada penurunan nilai sebesar 78,179 juta dolar AS hingga November 2020," jelas Syech Suhaimi.

Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Sumut Saidul Alam mengatakan, penurunan volume maupun nilai ekspor kopi akibat dampak pandemi. Pandemi, terangnya, telah melanda secara global. Termasuk negara-negara importir terbesar kopi asal Sumut. Seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Republik Rakyat Cina.

Ekspor kopi Sumut memang masih berjalan. Terbanyak jenis arabika. Melalui pelabuhan Belawan sepanjang 2020, ekspor tercatat mencapai 49.031 ton dengan nilai 237,054 juta dolar AS. Namun, angka itu turun dibandingkan 2019 yang mencapai 58.674 ton atau senilai 327,580 juta dolar AS.

Saidul mengaku belum berani memprediksi ekspor kopi Sumut pada tahun 2021. Pandemi yang masih berlangsung menurutnya masih berpotensi mengganggu dunia perdagangan. Meski harapannya tetap, volume dan nilai ekspor kopi membaik kembali tahun ini.

Target Pemerintah
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut sebenarnya tengah menargetkan menjadi produsen terbesar biji kopi di Indonesia. Potensi yang dimiliki daerah tersebut dinilai mumpuni.

"Sumut bercita-cita jadi produsen terbesar keempat dari seluruh Indonesia. Tahun 2022 diharapkan bisa menjadi ke dua, bahkan menjadi produsen pertama untuk pemasok kopi," kata Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah.

Menurutnya Sumut punya delapan wilayah penghasil kopi menjanjikan. Mereka adalah Tapanuli Selatan (Tapsel), Mandailingnatal (Madina), Simalungun, Dairi, Karo, Toba Samosir (Tobasa), Tapanuli Utara (Taput), dan Humbanghasundutan (Humbahas).

Berdasarkan data BPS 2018, produksi kopi asal Sumut 72.379 ton. Terdiri atas arabika 63.425 ton dan robusta 8.954 ton. Luas areal tanaman kopi arabika 71.955 hektare. Sedangkan robusta, 19.416 hektare.

Pemerintah berupaya meningkatkan kualitas kopi rakyat dengan melakukan sosialisasi dan memberi bibit unggul kopi ke petani. Bibit kopi yang diberikan arabika. Sebab, bila hasil produksinya berkualitas, harga jualnya di pasaran juga bagus.

"Sumut sendiri saat ini produksi kopinya lebih banyak jenis arabika, setelah secara bertahap petani mengganti dari tanaman robusta ke arabika," terang Musa Rajekshah.

Virus corona yang diduga berasal dari Wuhan, Cina pada 2019 menyebar dengan cepat ke berbagai negara. Ia memporak-porandakan perekonomian dunia serta memicu krisis baru.

Seperti usaha lain, pedagang retail kopi akhirnya dituntut memutar otak agar jangan sampai gulung tikar. Inovasi menjadi salah satu kunci bertahan di tengah pergulatan bisnis pengolahan kopi nasional akibat permintaan domestik maupun luar negeri menurun. 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler