Ketidakkonsistenan Pemerintah Pengaruhi Efektivitas PPKM

Pemerintah kerap berganti kebijakan untuk membatasi aktivitas sosial dan ekonomi.

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
[Ilustrasi] Anggota Satlantas Polresta Bandung memberhentikan kendaraan saat operasi penyekatan dan pemeriksaan di Gerbang Keluar Jalan Tol Soreang, Kabupaten Bandung, Ahad (31/1). Operasi penyekatan dan pemeriksaan bagi setiap kendaraan luar daerah yang masuk ke Kabupaten Bandung tersebut digelar dalam rangka Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) guna mencegah penyebaran Covid-19 di wilayah Kabupaten Bandung yang saat ini berstatus zona merah Covid-19. Foto: Abdan Syakura/Republika
Rep: Adinda Pryanka  Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten semakin menahan tingkat efektivitas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Sejak dimulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga new normal, pemerintah kerap berganti kebijakan untuk membatasi aktivitas sosial dan ekonomi. 

Baca Juga


Ia mengatakan, inkonsistensi juga kerap terjadi antara pusat dengan daerah. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat dan pihak yang mengawasi di lapangan kerap kebingungan dalam mengimplementasikan pembatasan. 

"Pemerintah harus segera meningkatkan konsistensinya dalam pembuatan kebijakan dan penerapannya," ucap Tri saat dihubungi Republika.co.id pada Senin (1/2).

Dampak kelanjutan dari kebijakan pusat yang tidak konsisten itu adalah tingkat pengawasan menjadi rendah. Tri memberikan contoh, kebijakan working from home (WFH) 75 persen pada saat PPKM yang tidak terpantau pemerintah atau satuan tugas (satgas) Covid-19 di kantor pemerintah ataupun swasta.

Rendahnya pengawasan ini dibarengi penegakan hukum yang tidak tegas. Misalnya, sanksi Rp 250 ribu untuk mereka yang tidak mengenakan masker. 

"Ini terlalu kecil, sehingga banyak yang melanggar. Coba sanksinya Rp 5 juta, pasti pada takut," kata Tri.

Tri mengatakan, tingkat efektivitas PPKM yang sudah berjalan hampir sebulan terakhir masih kurang dari 30 persen. Sebab, masih banyak kekurangan dalam implementasinya, mulai dari konsistensi kebijakan hingga pengawasan.

Seiring peningkatan kasus yang sangat tinggi dan mulai penuhnya kapasitas fasilitas kesehatan, Tri menuturkan, penerapan PPKM seharusnya diberlakukan secara ketat. Khususnya untuk daerah yang berada di zona oranye dan merah.  

Namun selama ini, Tri menilai, penerapan PPKM di dua zona tersebut justru terbilang sedang hingga ringan. "Dampaknya, efektivitasnya pasti rendah sekali, tidak sebanding dengan penyebaran kasus yang terus meningkat," kata dia.

Tidak hanya pembatasan aktivitas, Tri mengatakan, zona oranye dan merah juga harus mendapatkan prioritas untuk penerapan 3T (testing, tracing dan treatment). Kebijakan ini untuk menekan laju penyebaran virus corona dari daerah pusat penyebarannya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, pelaksanaan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) selama ini tidak efektif menekan laju penularan Covid-19. PPKM yang telah berjalan lebih dari dua pekan tak berdampak pada penurunan mobilitas dan kegiatan masyarakat.

"Saya ingin menyampaikan mengenai yang berkaitan dengan PPKM tanggal 11-25 Januari. Kita harus ngomong apa adanya. Ini tidak efektif. Mobilitas juga masih tinggi karena kita memiliki indeks mobility-nya ada," kata Jokowi saat rapat terbatas di Istana Bogor, Jumat (29/1) yang videonya baru diunggah pada Ahad (31/1). 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
 
Berita Terpopuler