India Akhiri Larangan Jaringan 4G di Kashmir
Sebelumnya, layanan internet seluler 4G dilarang di Kashmir selama sekitar 18 bulan.
REPUBLIKA.CO.ID, SRINAGAR -- India mengakhiri larangan layanan internet berkecepatan tinggi (4G) pada perangkat seluler di wilayah Kashmir yang disengketekan. Sebelumnya, layanan internet seluler 4G dilarang di Kashmir selama sekitar 18 bulan.
Penentangan terhadap India sendiri semakin dalam setelah New Delhi mencabut semi-otonomi kawasan tersebut. Perintah memulihkan layanan data seluler 4G itu datang pada Jumat (5/2) malam waktu setempat.
Namun, perintah yang dikeluarkan oleh sekretaris dalam negeri di kawasan itu, Shaleen Kabra, meminta petugas polisi agar memantau dengan cermat dampak pencabutan pembatasan layanan internet tersebut. Larangan internet menyeluruh mulai berlaku pada Agustus 2019, ketika India mencabut status khusus dan kenegaraan Kashmir yang memberi hak khusus kepada penduduknya dalam kepemilikan tanah dan pekerjaan. Wilayah Kashmir diketahui dibagi menjadi dua wilayah yang diperintah secara federal.
Larangan tersebut dinilai yang terlama dalam demokrasi dan dipandang oleh para aktivis hak sebagai 'apartheid digital' dan 'hukuman kolektif'. Langkah tersebut disertai dengan penjagaan keamanan dan pemadaman total komunikasi yang menyebabkan ratusan ribu pengangguran, mengganggu sistem perawatan kesehatan yang sudah lemah dan menghentikan pendidikan jutaan orang di sekolah dan perguruan tinggi.
Beberapa bulan kemudian, India secara bertahap mengurangi beberapa pembatasan, termasuk konektivitas internet parsial. Pada Januari tahun lalu, pihak berwenang mengizinkan lebih dari 12 juta orang di wilayah yang dikuasai India itu untuk mengakses situs web yang disetujui pemerintah melalui sambungan berkecepatan lambat.
Dua bulan kemudian, pihak berwenang mencabut larangan media sosial dan memulihkan konektivitas internet penuh, tetapi bukan internet berkecepatan tinggi. Pada Agustus 2020, layanan 4G diizinkan di dua dari 20 distrik di kawasan itu.
Para pejabat mengatakan, larangan internet itu ditujukan untuk menghentikan protes anti-India dan serangan oleh pemberontak yang telah berjuang selama beberapa dekade untuk menyerukan kemerdekaan atau penyatuan kawasan itu dengan Pakistan, yang mengelola bagian lain dari Kashmir. Kedua negara mengklaim wilayah daratan yang terkurung itu secara keseluruhan.
Para pejabat juga berpendapat, bahwa langkah-langkah keamanan semacam itu diperlukan untuk lebih mengintegrasikan kawasan itu dengan India, mendorong pembangunan ekonomi yang lebih besar dan menghentikan ancaman dari apa yang disebut 'elemen anti-nasional' dan Pakistan.
Namun, banyak warga Kashmir memandang langkah tersebut sebagai bagian dari awal kolonialisme pemukim yang bertujuan untuk merekayasa perubahan demografis di satu-satunya wilayah mayoritas Muslim di India. Aktivis hak digital secara konsisten mengecam pembatasan internet dan mengatakan mereka mewakili level baru dari kendali pemerintah atas informasi.
Pemerintah India juga dikritik oleh anggota parlemen di Eropa dan AS, yang meminta negara itu untuk mengakhiri pembatasan. Omar Abdullah, mantan pejabat tinggi terpilih di kawasan itu yang dipenjara selama beberapa bulan pada 2019, menyambut baik pemulihan internet ini.
"Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali," ujarnya melalui cuitan di Twitter, dilansir di AP News, Ahad (7/2).
Sejumlah pihak lain yang mengkritik langkah India itu mengatakan internet adalah salah satu hak dasar.
"Saya benar-benar melihat beberapa orang keluar dari jalur mereka untuk berterima kasih kepada pejabat pemerintah atas restorasi 4G. Mereka tidak menawarkan kita amal. Kami harus meminta kompensasi atas perampasan dan kerugian kami," kata editor eksekutif Kashmir Times, Anuradha Bhasin, di Twitter.
India kerap menghentikan layanan internet seluler di beberapa bagian wilayah Kashmir sebagai taktik selama operasi kontra-pemberontakan dan protes anti-India. Menurut kelompok penelitian dan privasi digital yang berbasis di London Top10VPN, India berada di peringkat teratas dalam penghentian internet pada 2020.
Dalam laporannya pada Januari, kelompok tersebut mengatakan pemadaman internet pada 2020 menyebabkan kerugian senilai 4,01 miliar dolar secara global dan India adalah yang paling terkena dampak sementara menderita kerugian sebesar 2,8 miliar dolar.
Sebagian besar penutupan internet oleh India telah diberlakukan di Kashmir. Akan tetapi, penutupan internet tersebut juga telah diberlakukan di tempat lain oleh pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi.
Pihak berwenang memutus internet di lokasi protes di luar New Delhi, tempat puluhan ribu petani selama lebih dari dua bulan berkemah melawan undang-undang pertanian baru. Langkah itu menarik perhatian global setelah bintang pop Rihanna pada Selasa mengunggah tautan laporan berita CNN di Twitter, tentang India yang memblokir layanan internet di lokasi protes. Hal itu lantas membuat marah para menteri di pemerintahan dan para selebriti India, yang mendesak masyarakat untuk berkumpul dan mengecam orang luar yang mencoba merusak negara.