Uni Eropa Kecam Aksi Kekerasan Militer Myanmar
Uni Eropa berencana menerapkan sanksi terhadap junta militer Myanmar.
REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Uni Eropa mengecam kekerasan yang dilakukan militer Myanmar terhadap massa pengunjuk rasa di negara tersebut. Perhimpunan Benua Biru siap menerapkan sanksi terhadap junta militer Myanmar.
“Saya mengutuk keras kekerasan militer terhadap pengunjuk rasa sipil yang damai. Saya mendesak militer dan semua pasukan keamanan di Myanmar untuk segera menghentikan kekerasan terhadap warga sipil," kata kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell melalui akun Twitter pribadinya pada Sabtu (20/2).
Dia mengindikasikan Uni Eropa akan menerapkan sanksi terhadap junta militer. "Kami akan membahas pada hari Senin (22/2) dengan menteri luar negeri Uni Eropa tentang kejadian terbaru di Myanmar untuk mengambil keputusan yang tepat," tulis Borrell.
Uni Eropa dilaporkan sedang mempertimbangkan untuk memperkenalkan larangan perjalanan dan pembekuan aset terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kudeta pada 1 Februari lalu. Tokoh atau individu yang terlibat dalam aksi kekerasan terhadap warga sipil bakal turut dijerat.
Pada Sabtu lalu unjuk rasa menentang kudeta militer masih berlangsung di Myanmar. Demonstrasi di Mandalay, yakni kota terbesar di Myanmar, diwarnai aksi penembakan pasukan keamanan.
Menurut laporan media lokal, setidaknya dua demonstran tewas tertembak. Jumlah kematian belum secara pasti dapat dikonfirmasi.
Sebelumnya Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) di Myanmar, Tom Andrews, mengkhawatirkan terjadinya eskalasi kekerasan di negara tersebut. Hal itu disampaikan saat gelombang demonstrasi di sana terus berlanjut.
Kekhawatiran Andrews muncul karena dua hal yakni protes massal yang direncanakan dan adanya pergerakan atau pengerahan pasukan. "Kita bisa berada di tebing di mana militer melakukan kejahatan yang lebih besar terhadap rakyat Myanmar," ujarnya dalam sebuah pernyataan pada Selasa (16/1) lalu, dikutip laman Aljazirah.
Kekhawatiran serupa turut disampaikan International Crisis Group (ICG). Mereka menyebut pendekatan pasukan keamanan bisa berubah menjadi lebih "gelap" dengan cepat.
"Tentara dan kendaraan lapis baja mulai memperkuat garis polisi. Jika para jenderal menjadi tidak sabar dengan status quo, itu dapat dengan mudah menjadi ujung yang tajam dari tindakan keras berdarah, seperti yang telah terjadi di masa lalu," kata ICG dalam sebuah pernyataan pada Rabu (17/2).
Pada konferensi pers pada Selasa lalu, para jenderal Myanmar mengkliam bahwa mereka tidak melakukan kudeta. Tindakan pada 1 Februari lalu perlu diambil karena adanya kecurangan pemilu. Militer Myanmar telah menegaskan akan menggelar pemilu baru. Namun mereka tak menjelaskan kapan hal itu bakal dilaksanakan.
Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi belum tampil di muka publik sejak ditahan pada 1 Februari lalu. Kepolisian Myanmar telah menambahkan dakwaan baru padanya. Hal itu memungkinkan dia ditahan tanpa batas waktu tanpa pengadilan.