Swasembada Sapi Gagal, Peternak Didorong Fokus Penggemukan
Pertumbuhan konsumsi dan produksi sapi berdasarkan data BPS menunjukkan kesenjangan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya swasembada sapi yang diupayakan pemerintah sejak lama tak pernah membuahkan hasil. Sementara, kemampuan pertumbuhan produksi semakin kalah cepat dibanding peningkatan konsumsi. Fokus pemerintah dalam pengembangan sapi nasional dipertanyakan.
Pakar Peternakan dari Universitas Padjajaran, Rocahdi Tawaf, mengatakan pertumbuhan konsumsi dan produksi daging sapi berdasarkan tren data Badan Pusat Statistik dan Qasa menunjukkan kesenjangan. Konsumsi tumbuh hingga 6,4 persen sementara produksi hanya mampu tumbuh 1,30 persen.
Sementara, upaya swasembada sudah dimulai pemerintah sejak 1995 silam namun tak pernah membuahkan hasil. "Kebijakan swasembada tidak pernah terealisasi, jadi mau kemana? Kalau saya teliti ya itu inkonsistensi kebijakan dengan keinginan pemerintah yang ingin dicapai," kata Rochadi dalam webinar Meat & Livestock Australia, Senin (22/3).
Untuk memenuhi kebutuhan, importasi menjadi pilihan pemerintah. Salah satunya lewat impor sapi bakalan Australia. Kerja sama antara Indonesia dan Australia sudah terjadi sejak 30 tahun.
Rochadi menjelaskan, Indonesia dan Australia memiliki keunggulan komparatif. Di mana, usaha pembiakan sapi di Australia sangat efisien namun mahal dalam hal penggemukan. Sebaliknya, penggemukan sapi di Indonesia jauh lebih murah dari Australia. Menurutnya, keunggulan itu seharusnya lebih dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi industri sapi nasional.
"Indonesia efisien untuk penggemukan, Australia efisien untuk pembiakan. Jadi bukan saling memusuhi, bahwa Indonesia (ingin swasembada) tidak suka sama Australia. Ini harus kolaborasi," kata Rochadi.
Dari segi geografis, Rochadi menilai Australia sangat dekat dengan Indonesia sehingga biaya logistik bisa lebih murah dari negara produsen lain seperti Brazil negara kawasan Amerika Latin. Keunggulan komparatif dan kedekatan jarak itu lebih baik dimanfaatkan untuk membangun supply chain kedua negara. Menuru Rochadi, Australia bisa menjadi mitra yang menguntungkan karena juga mengalami masalah tingginya biaya penggemukan sapi di dalam negeri.
"Filosofinya simbiosis mutualisme. Hidup berdampingan saling memanfaatkan peluang," katanya.
Sementara itu, Ketua Komite Tetap Industri Peternakan dan Kemitraan Kadin Indonesia, Yudi Guntara Noor, menambahkan, di Indonesia lahan lebih dipilih dijadikan area perkebunan seperti kelapa sawit karena tingkat kesuburan tanah.
Beternak sapi kurang menjadi pilihan atas dasar pertimbangan usaha oleh masyarakat. Sementara di Australia, hamparan yang banyak tak mampu untuk ditanami komoditas sawit. Sebaliknya lebih sesuai untuk menjadi ladang gembala dalam pengembangbiakan sapi.
"Jadi kita tidak bisa mengambil semuanya karena kita bukan produsen daging yang menunjang. Di NTT dan NTB ada lahan, betul. Tapi itu kecil," kata dia.
Dengan sumber daya yang tersedia, Yugi menilai Indonesia sulit memenuhi kebutuhan daging seluruh masyarakat Indonesia. Menurutnya, jika konsumsi per kapita protein hewani dari daging naik 1 kilogram per tahun, setidaknya butuh tambahan 270 ribu ton daging setiap tahun.
Pemerintah, tambah Yugi, harus memahami situasi yang ada. Senada Rochadi, ia menilai saat ini harus mulai dibentuk rantai pasok yang tepat antara Indonesia dan Australa.
"Tinggal dipilih mau kemana? sapi bakalan, daging beku atau apa. Jadi tidak perlu lagi dikotomi impor tidak impor. Bentuk supply chain dan value chain," katanya.