Ketum PAN: Pilkada, Pileg, Pilpres Tunjukkan Demokrasi Culas
Ketum PAN menyinggung kondisi politik Indonesia yang semakin terpolarisasi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan, menyinggung kondisi politik Indonesia yang semakin terpolarisasi. Ia tak segan menyebut pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017 hingga 2020 telah mempertontonkan demokrasi yang culas.
"Pilkada 2017, 2018, Pileg dan Pilpres 2019 serta Pilkada serentak 2020 yang telah lalu, telah menunjukkan kepada kita karakter demokrasi yang culas dan hanya berpikir menang-menangan," ujar pria yang akrab disapa Zulhas dalam pidato kebangsaannya yang diunggah di media sosial pribadinya, Rabu (24/3).
Politik Indonesia saat ini hanya menjadi ajang untuk memperebutkan kekuasaan belaka. Semua pihak hanya memikirkan kekuasaan untuk menjalankan agendanya masing-masing.
Dampaknya, masyarakat akan semakin terpolarisasi akibat sikap yang dipertontonkan oleh elite-elite politik. Bahkan, muncul benih-benih permusuhan dan kebencian yang ongkos sosial-budayanya sangat tinggi.
"Muncul karakter dukungan politik yang kuat dibarengi dengan mencuatnya perbedaan ideologi adalah konsekuensi dari tarik-menarik akibat polarisasi ini. Semangat nasionalisme jadi dipandang begitu sempit sekaligus berlebihan," kata Zulhas.
Di sisi lain, politisasi agama juga disebut Zulhas dilakukan secara brutal yang menghasilkan Islamisme yang sempit dan simbolik belaka. Hal tersebut memungkinkan masuknya paham-paham ekstrem dan radikal.
Hal tersebut dinilainya begitu menyedihkan, melihat apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Ketika polarisasi politik hanya menimbulkan kebencian yang sangat membahayakan keutuhan kita berbangsa dan bernegara.
"Pesta demokrasi yang mahal sekali ongkosnya bagi parpol ataupun peserta pemilu menghasilkan pola-pola yang sifatnya transaksional, merugikan, dan membodohkan masyarakat. Sementara tensi politiknya tidak dikelola dengan baik," ujar Wakil Ketua MPR itu.
Ia berharap, ke depan ada rekonsiliasi nasional untuk mengembalikan keutuhan kita dalam berbangsa dan bernegara. Para elite nasional harus meminta maaf kepada masyarakat dan berjanji tidak lagi menggunakan politik identitas dan SARA untuk menyelenggarakan sukses kekuasaan.
"Ongkos politiknya besar sekali yang harus kita tanggung. Mulai hari ini masyarakat harus diajak bersatu kembali, menggunakan lagi spirit sila ke-3 Pancasila, Persatuan Indonesia," ujar Zulhas.