Berniat Qurban dan Aqiqah Sekaligus, Bolehkah?
Aqiqah dan qurban adalah dua ibadah yang berbeda.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Idul Adha, terdapat ritual pemotongan hewan qurban seperti domba atau kambing. Namun, bagaimana jika qurban yang dilakukan seorang Muslim juga diniatkan untuk mengaqiqahi anaknya? Apakah Islam membolehkannya dan apa dasarnya?
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ahmad Zubaidi menyampaikan penjelasan soal itu. Dia mengatakan, dalam Islam terdapat tiga ibadah yang bentuknya penyembelihan hewan, yaitu aqiqah, athirah (rojabiyah), dan qurban. Aqiqah adalah penyembelihan hewan kambing pada hari ketujuh kelahiran seorang anak.
Sedangkan athirah adalah penyembelihan kambing pada bulan Rajab, yang dilakukan oleh orang jahiliyah Arab, lalu dipertahankan dalam ajaran Islam. Karena dilaksanakan pada bulan Rajab, athirah disebut juga rojabiyah.
"Sedangkan qurban, atau juga disebut udhiyah adalah penyembelihan hewan ternak berupa unta atau sapi dan sejenisnya, atau kambing, pada hari nahar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Makanya ini disebut qurban," tutur dia kepada Republika.co.id, Ahad (27/6).
Kiai Zubaidi memaparkan, ulama Hanafiyah berpendapat ibadah penyembelihan hewan, yakni aqiqah, athirah dan rojabiyah telah dihapus dengan disyariatkannya qurban atau udhiyah. Namun hukum aqiqah tetap dibolehkan, meski tidak disunnahkan.
Adapun hukum berqurban, menurut pendapat Hanafiyah, adalah wajib dilaksanakan bagi yang mampu setiap tahun. Sedangkan jumhur ulama, selain Hanafiyah, berqurban termasuk juga aqiqah adalah sunnah, dan athirah tidak disunnahkan.
Kiai Zubaidi menekankan, aqiqah dan qurban adalah dua ibadah yang berbeda. Dasar penetapannya pun berbeda. Dasar penetapan aqiqah adalah di antaranya sebagaimana hadits riwayat Abu Daud dan An-Nasa'i dari jalur Ibnu Abbas. Rasulullah SAW bersabda, "Mengaqiqahi Hasan dan Husein masing-masing dengan satu kambing kibas."
Juga hadits dari Samurah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh kelahirannya, dicukur dan diberi nama." (HR Ahmad dan Arba'ah, dishahihkan Imam Tirmidzi)
Sedangkan ibadah qurban, pensyariatannya antara lain berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah Al-Kautsar ayat 2, "Maka shalatlah kepada Tuhanmu dan berqurbanlah."
Pensyariatan qurban juga didasarkan pada hadits. Dalam riwayat Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang memiliki kemampuan (keluasan rezeki) dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat sholat kami." Selain itu, ijma kaum Muslimin juga mensyariatkan qurban.
Kiai Zubaidi melanjutkan, hikmah disyariatkannya aqiqah adalah sebagai ungkapan syukur atas kelahiran anak. Dengan memberikan daging penyembelihan, diharapkan sang anak nantinya menjadi anak yang shaleh, dermawan dan bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat nanti untuk kedua orang tuanya. Aqiqah juga sebagai tebusan kedua orang tua terhadap anak-anaknya.
Sedangkan hikmah disyariatkannya qurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berpasrah bahwa apa yang Allah SWT berikan kapan pun bisa kembali diambil oleh Allah SWT. Qurban juga memiliki nilai sosial untuk membantu orang-orang yang tidak mampu agar mereka dapat merasakan makanan yang enak dan bergizi. Qurban juga merupakan penebusan seseorang terhadap diri sendiri untuk mendapatkan kebebasan dari siksa api neraka.
"Karena itu, pelaksanaan qurban dan aqidah tidak bisa digabung dalam niatnya. Karena keduanya adalah ibadah yang berbeda, dan dengan tujuan yang berbeda pula. Demikian juga menurut madzhab Syafi'i dan Maliki. Maka, seseorang tidak boleh menggabungkan pelaksanaan qurban dengan aqiqah walaupun misalnya jatuh pada hari yang sama," ujarnya.
Bahkan salah seorang ulama Syafi'iyah, Al-Haitami menegaskan jika seseorang berniat satu kambing untuk qurban dan aqiqah sekaligus, keduanya sama-sama tidak dianggap. Karena, seperti dijelaskan Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj Syarh Al-Minhaj, maksud dari qurban dan aqiqah itu berbeda.
Namun ada pengecualian bagi orang yang tidak mampu. Kiai Zubaidi menuturkan, orang yang tidak mampu bisa menggabungkan niatnya jika pelaksanaan aqiqah bertepatan dengan pelaksanaan qurban.
Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali), Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi), dan beberapa ulama lain seperti Hasan Basri, Ibnu Sirin, dan Qatadah, membolehkan penggabungan niat qurban dan aqiqah, dengan catatan jika waktu pelaksanaan qurban dan aqiqah bersamaan. "Tetapi tidak ada pendapat yang menyatakan boleh secara mutlak," kata Kiai Zubaidi.