Masjid di Christchurch Kembali Terima Ancaman Kekerasan
Selandia Baru hendak memperkuat undang-undang hasutan kebencian dan diskriminasi.
REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Masjid An-Nur di Christchurch, Selandia Baru kembali menjadi sasaran ancaman kekerasan baru. Penargetan kekerasan terhadap masjid ini terjadi di tengah rencana pemerintah Selandia Baru yang hendak memperkuat undang-undang ujaran kebencian serta meningkatkan hukuman untuk hasutan kebencian dan diskriminasi.
Langkah reformasi itu dilakukan setelah Komisi Penyelidikan Kerajaan merekomendasikan perubahan pada undang-undang ujaran kebencian dan kejahatan kebencian. UU ini dinilai kurang kuat memberikan hukuman pada orang-orang yang menargetkan kelompok agama dan minoritas lainnya.
Usulan itu datang menanggapi serangan teror oleh seorang supremasi kulit putih di Christchurch pada 2019 yang menewaskan 51 Muslim. Untuk insiden kali ini, polisi telah menerima tiga laporan terpisah yang berkaitan dengan masjid Christchurch dalam dua pekan terakhir. Insiden tersebut digambarkan oleh seorang menteri senior sebagai hal serius.
Komandan area metro Canterbury, Lane Todd, mengatakan masalah itu dilaporkan ke polisi dari perwakilan Masjid Al Noor. Dia mengatakan ketiga laporan itu sedang ditindaklanjuti secara aktif. Namun, ketiga laporan itu tidak terhubung satu sama lain.
Ketua Federasi Asosiasi Islam Abdur Razzaq bertanggung jawab atas salah satu laporan tersebut setelah dia menarik perhatian polisi terhadap sebuah gambar ofensif di forum online 4chan. Foto itu memperlihatkan seorang pria bermasker yang berswafoto dan berpose di dalam mobil yang diparkir di luar Masjid An-Noor, dengan disertai komentar yang mengancam terhadap orang-orang di dalam masjid.
"Langsung kami hubungi polisi, polisi sudah ke sana dalam waktu delapan menit. Hal itu sedang diperiksa, layanan intelijen keamanan (SIS) terlibat. Jadi kami senang dengan waktu respons yang cepat seperti itu tetapi rasisme masih ada, masih ada. Inilah mengapa saya mengatakan mengapa semua orang perlu melihat temuan Komisi Kerajaan," kata Abdur Razzaq, dilansir di Stuff, Rabu (30/6).
Gambar tersebut pertama kali muncul di aplikasi pesan terenkripsi Telegram dan tidak lagi tersedia di situs 4chan. Menteri yang bertanggung jawab atas dua badan intelijen Selandia Baru, GCSB dan SIS, Andrew Little tidak akan mengonfirmasi SIS terlibat dalam kasus ini. Namun, ia menegaskan kembali mereka memiliki mandat mengumpulkan intelijen tentang ancaman teroris dan kekerasan ekstremis.
Little, yang juga bertanggung jawab atas tanggapan Pemerintah terhadap Laporan Komisi Kerajaan terhadap serangan teror, mengatakan unggahan itu serius. "Apa pun yang berupa foto seperti itu, yang jelas-jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi dan menimbulkan rasa ancaman bagi orang-orang, tidak pernah dapat diterima, itulah sebabnya ketika mereka terlihat atau muncul secara online, orang-orang itu memberi tahu pihak berwenang agar tindakan dapat diambil," kata Little.
Little mengatakan tidak ada badan intelijen keamanan atau kepolisian yang dapat memantau segala sesuatu di internet. Badan intelijen bergantung pada berbagai sumber, termasuk publik, untuk mendapatkan informasi.
Abdul Razzaq sudah meminta lebih banyak waktu untuk mengajukan usulan perubahan undang-undang ujaran kebencian oleh Pemerintah. Dia mengatakan telah disibukkan dengan pertemuan dan kontra-terorisme di Christchurch bulan ini. Razzaq meminta periode konsultasi publik, yang berakhir pada 6 Agustus, diperpanjang satu bulan.
Menurutnya, saat ini Departemen Perdana Menteri dan Kabinet (DPMC) dan berbagai kementerian bergerak cepat. "Di masa lalu, kami mengkritik seberapa lambat mereka, tetapi sekarang kami datang ke tahap di mana momentum sedang dibangun dan kami merasa sangat sulit mengejar ketinggalan," ujarnya.
Pengajuan publik dibuka Rabu (30/6) dan ditutup pada 6 Agustus 2021. Dokumen diskusi Pemerintah mencakup langkah-langkah tentang cara membuat pengajuan. Berita soal pemerintah yang ingin mereformasi ujaran kebencian ke dalam Undang-undang Kejahatan dan memperkenalkan hukuman yang lebih keras membuat Dewan Wanita Islam mundur pekan lalu. Koordinator nasionalnya, Aliya Danzeisen, mengatakan banyak yang harus diproses, terutama karena dia belum pernah berbicara tentang undang-undang ujaran kebencian.
Dewan Wanita Islam mengatakan peringatannya tentang meningkatnya sentimen anti-Muslim diabaikan oleh pihak berwenang sebelum serangan masjid Christchurch. Danzeisen khawatir tidak ada yang berubah, meskipun ada langkah pemerintah, seperti reformasi ujaran kebencian yang diusulkan, sebagai tanggapan terhadap serangan teror.