Langkanya Obat Covid-19 Vs Janji Ketersediaannya di Apotek
IAI menyatakan masyarakat akan bisa mendapatkan obat Covid-19 di apotek.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh M Nursyamsi, Rr Laeny Sulistyawati, Antara
Holding BUMN farmasi mengakui saat ini terjadi kelangkaan obat-obatan untuk penanganan pasien Covid-19. Salah satu penyebab kelangakaan itu lantaran adanya keterlambatan pasokan bahan baku Redemsivir dari India yang sedang menerapkan lockdown.
"Yang jadi masalah Redemsivir yang diimpor dari tujuh perusahaan farmasi di India tapi Indianya masih lockdown, upaya dari kami, produk Redemsivir dilakukan pengembangan dalam negeri yang akan diproduksi Kimia Farma," ujar Direktur Utama PT Kimia Farma (Persero) Verdi Budidarmo saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/7).
Verdi menyampaikan terdapat sejumlah aturan yang menetapkan proses distribusi obat-obatan hanya tersedia di pelayanan kesehatan seperti puskesmas hingga rumah sakit (RS). Sehingga, menurutnya, obat-obatan untuk penanganan Covid-19 memang tidak tersedia di apotek.
Direktur Utama PT Indofarma (Persero) Arief Pramuhanto tak menampik produksi obat-obatan untuk penanganan pasien Covid-19 belum optimal. Arief mencontohkan produksi Oseltamivir sebanyak 6 juta hingga Juni dari total kemampuan yang sebanyak 10 juta. Pun dengan Invermectin yang baru mampu memproduksi 8 juta butir per bulan.
"Mulai Agustus, kami bisa memproduksi Invermectin sebanyak 16 juta butir. Kalau dari sisi distribusi, kami akan memprioritaskan daerah hitam dan merah sehingga outlet-outlet yang daerah itu kita prioritaskan," kata Arief.
Direktur Utama PT Kimia Farma Verdi Budidarmo mengemukakan, obat terapi bagi pasien COVID-19 jenis Remdesivir ditargetkan beredar di pasaran mulai September 2021. Ia pun mengungkapkan kendala ketersediaan Remdesivir dalam rapat yang sama di DPR.
"Tantangan Remdesivir injeksi ke depan adalah hak patennya masih dimiliki perusahaan farmasi di Amerika Serikat," katanya, Rabu.
Verdi mengatakan percepatan pengadaan Remdesivir dalam bentuk jadi di Indonesia melalui impor dari India masih terkendala dengan situasi karantina wilayah di negara produsen. Dari tujuh perusahaan farmasi di Indonesia, katanya, saat ini seluruhnya masih mengandalkan importasi produk obat terapi Covid-19 dari India.
Upaya memproduksi Remdesivir di dalam negeri dimulai perusahaan farmasi nasional dengan berkoordinasi bersama Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) melalui Dirjen Kekayaan Intelektual, kata Verdi. Verdi berharap pemenuhan produk Remdesivir injeksi untuk kebutuhan di dalam negeri bisa diluncurkan mulai September 2021.
"Kami harapkan bisa launching pada September 2021. Kalau sekarang belum ada," katanya.
PT Kimia Farma sendiri saat ini sedang memproduksi dan mendistribusikan tiga varian obat terapi bagi pemulihan kesehatan pasien Covid-19. Ketiganya adalah jenis Azithromycin, Favipiravir, dan Remdesivir.
"Kimia Farma melakukan produksi Azithromycin tablet yang diproduksi oleh 33 perusahaan di Indonesia, di mana 19 perusahaan memproduksi Azithromycin generik salah satunya Kimia Farma," kata Verdi.
Verdi mengatakan, produksi Azithromycin telah didistribusi sejak Juni 2021 sebanyak 58 ribu kemasan dus. Setiap dus berisi 20 tablet.
Kimia Farma juga memproduksi Favipiravir yang ditargetkan bergulir sampai dengan 23 Juli 2021 sejumlah tujuh juta tablet. Verdi mengatakan, Favipiravir sudah memperoleh izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan telah didistribusikan ke berbagai rumah sakit melalui Kimia Farma Trading and Distribution.
Angin segar sebelumnya diembuskan oleh Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Farmasi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Keri Lestari yang mengemukakan, bahwa obat Covid-19 bisa segera didapat masyarakat yang membutuhkan melalui apotek. Namun, ia pun mengakui, saat ini sedang terjadi kelangkaan obat anti-virus di apotek-apotek.
"Bukannya tidak tersedia, karena rantai pasokannya yang awalnya obat anti-virus itu diarahkan ke rumah sakit, sekarang juga ke apotek-apotek," katanya, Selasa (6/7) malam.
Keri mengatakan, hingga saat ini pemerintah melalui sejumlah otoritas terkait sedang memenuhi pasokan obat Covid-19 ke berbagai apotek untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Rantai pasokan obat ke apotek bisa segera untuk terpenuhi, jadi masyarakat bisa mendapatkannya di apotek," katanya.
Saat ditanya terkait jumlah stok obat Covid-19 di Indonesia, Keri menjawab bahwa IAI tidak mendapatkan informasi secara gamblang terkait ketersediaan obat dari produsen. Namun, IAI bersama pihak terkait sedang memperkuat industri farmasi untuk memproduksi obat Covid-19 sesuai dengan izin edar penggunaan darurat yang dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Walaupun hingga saat ini belum ada obat Covid-19 yang benar-benar definitif," katanya.
Meski belum ada obat yang secara defenitif ditetapkan sebagai obat Covid-19, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memberikan izin penggunaan dalam kondisi darurat zat aktif bahan baku obat Covid-19. Dua obat yang telah mendapatkan izin BPOM itu adalah Remdesivir dan Favipiravir.
"Obat yang telah mendapatkan persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat baru dua, Remdesivir dan Favipiravir," kata Kepala BPOM Penny K Lukito kepada jajaran Komisi IX DPR RI dalam Rapat Kerja secara virtual yang dipantau di Jakarta, Selasa (6/7).
Dalam pemaparannya, BPOM melaporkan zat aktif Remdisivir diberikan kepada pasien dalam bentuk serbuk injeksi dan larutan konsentrat untuk infus. Remdisivir berbentuk serbuk injeksi diproduksi dengan sejumlah nama obat di antaranya Remidia, Cipremi, Desrem, Jubi-R, Covifor, dan Remdac, sedangkan Remdisivir dalam bentuk larutan konsentrat bernama Remeva.
Remdisivir diberikan kepada pasien dewasa dan anak yang dirawat di rumah sakit setelah dinyatakan terkonfirmasi positif Covid-19 dengan derajat keparahan berat. Zat aktif yang juga memperoleh izin darurat adalah Favipirapir dalam bentuk tablet salut selaput.
Saat ini Favipirapir diproduksi dengan nama obat Avigan, Favipirapir, Favikal, Avifavir, dan Covigon. Indikasi obat tersebut diberikan kepada pasien Covid-19 dengan derajat keparahan sedang yang dikombinasi dengan standar pelayanan kesehatan.
"Untuk obat dan vaksin Covid-19 kami melakukan berbagai upaya dikaitkan dengan inspeksi baik dimulai dari fasilitas produksinya sampai dengan distribusi dan juga melakukan upaya pengawasan farmakovigilan yaitu pengawasan terhadap efek samping yang diterima di masyarakat," ujarnya.
Soal kelangkaan obat di pasaran, aparat terkait tengah melakukan penyelidikan. Aparat gabungan dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya, sejak Selasa (6/7) telah memulai operasi intelijen atas dugaan penimbunan obat dan oksigen tabung pada masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.
"Sudah kami buatkan operasi intelijen yustisial untuk melakukan deteksi tentang informasi kelangkaan obat-obatan maupun oksigen," kata Kepala Kejati DKI Jakarta Asri Agung Putra, Rabu (7/7).
Menurut dia, pihaknya akan menyelidiki apakah terjadi penyimpangan atau karena kebutuhan atau permintaan dari masyarakat yang melonjak. Korps Adhyaksa itu akan bekerjasama dengan Kepolisian yakni Direktorat Reserse Kriminal Umum dan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya juga membentuk tim yang dipimpin langsung oleh Ditkrimsus Polda Metro Jaya untuk melakukan pengecekan dan pengawasan serta penyelidikan di lapangan terhadap adanya kelangkaan obat-obat. Selain terhadap obat-obatan, tim khusus juga akan mengawasi pasokan tabung oksigen yang saat ini diperlukan oleh rumah sakit, maupun pasien Covid-19.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus menjelaskan maraknya pembelian obat-obatan untuk Covid-19 di antaranya Ivermectin membuat oknum penjual obat menaikkan harga di atas harga eceran tertinggi (HET) sesuai ketentuan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Bahkan, penjualan obat dengan harga selangit ini pun beredar di platform daring, sehingga merugikan masyarakat serta pasien yang benar-benar membutuhkan Ivermectin.
Yusri menegaskan, selain pembeli yang harus memiliki resep dokter, penjual obat maupun apotek yang mengedarkan Ivermectin harus memiliki izin Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK), karena termasuk dalam obat keras.
"Yang menjualnya pun harus dengan izin, intinya adalah izin Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian. Ini harus dimiliki, bagaimana bisa, menjual secara daring," kata Yusri.