Kenali Gejala Covid-19 Varian Delta pada Anak

Varian delta bisa menginfeksi anak dengan lebih kuat.

ANTARA/Basri Marzuki
Petugas memeriksa suhu tubuh seorang anak sebelum memasuki kawasan perbelanjaan di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (24/6/2021). Sejumlah lembaga penelitian bidang kesehatan memperingatkan kerentanan anak terinfeksi COVID-19 yang saat ini berasio 1 : 9 kasus akan meningkat setelah ditemukannya varian baru B16.17 atau Varian Delta.
Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Kalimantan Barat dr Rifka, MM memberikan peringatan kepada masyarakat untuk mewaspadai varian delta. Varian Delta yang diketahui sangat mudah menginfeksi anak-anak.

Baca Juga


"Saat ini, COVID-19 varian Delta menjadi kekhawatiran besarkarena dengan mudah bisa menginfeksi anak-anak," katanya di Ponianak, Senin (12/7).

Dia menjelaskan COVID-19 varian Delta diyakini memiliki kemampuan untuk menginfeksi anak dengan lebih kuat. Hal ini berkaitan dengan mekanisme perlindungan kekebalan silang yang disebabkan coronavirus,. Awalnya kategori anak lebih terlindung justru kini menjadi kurang terlindungi terhadap varian baru (increased susceptibility in children).

"Untuk itu, perlu pencegahan yang maksimal, termasuk menggunakan masker yang tepat dan benar, dan yang terpenting tidak membiarkan anak-anak keluar rumah jika tidak darurat," kata Rifka.

Ia menambahkan para orangtua harus belajar untuk mengenali gejala COVID-19 pada anak. Gejalanya adalah seperti demam, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit kepala, mual/muntah, diare, lemas dan sesak nafas. 

Gejala lainnya, seperti anak jadi banyak tidur, napas cepat, ada cekungan dada, hidung kembang kempis, saturasi oksigen kurang dari 95 persen. Selanjutnya, mata merah, ruam, leher bengkak, demam lebih dari tujuh hari, kejang, tidak bisa makan dan minum, mata cekung, dan terjadi penurunan kesadaran.

Alat yang perlu disediakan di rumah ketika isolasi mandiri seperti termometer (pengukur suhu) dan oxymeter (alat pengukur saturasi dan nadi). Lalu obat-obatan antara lain, obat demam, multivitamin, zinc, dan vitamin D.

"Tentu semua ini diberikan setelah dilakukan pemeriksaan dokter. Jangan sembarangan mengkonsumsi obat apalagi anak-anak karena harus ada dosis khusus sesuai berat badan," kata Rifka.

Ia menambahkan selama melakukan isolasi mandiri anak, sebaiknya tetap menerapkan protokol kesehatan. Antara lain menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, kemudian menerapkan etika batuk dan bersin.

Orang tua juga mesti rutin memeriksa suhu tubuh anak saat pagi dan sore hari. Lalu memeriksa saturasi oksigen dan nadi dan pantau laju napas.

"Berikan anak makanan bergizi, jika bayi lanjutkan pemberian ASI. Lakukan desinfeksi ruangan," katanya.

Ia menambahkan usai isolasi gejala yang muncul itu akan hilang selama kurun waktu 14 hari. Dianjurkan tes usap ulang 10-14 hari setelah H1 gejala.

"Bila tidak bisa 'swab' lakukan penambahan hari isolasi 10+3 hari sampai bebas gejala," katanya.

Menurut dia pada penderita anak dengan gejala kronik tentu masa isolasi lebih panjang disesuaikan dengan gejala karena masa menular pun lebih panjang. Dengan begitu, dokter yang menentukan kapan selesai isolasi.

Ia menyatakan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat bahwa jumlah anak yang terpapar COVID-19 terus bertambah. Bahkan, data kematian anak akibat COVID-19 masih menjadi tertinggi di dunia.

Dia juga menyarankan agar anak-anak benar-benar tetap di rumah. Aktivitas yang dilakukan seperti berjemur yang kemudian didukung dengan mengkonsumsi makanan bergizi, dan air putih.

"Intinya, jaga aman, iman, dan imun," ucap dia.

sumber : antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler