Ahli: Taliban Masuki Era Baru, tapi Harus Berdaulat Ekonomi

Pemerintah China bisa menjepit Taliban lewat jebakan utangnya

Para ahli di Indonesia meyakini Taliban telah mengalami transformasi dari gerakan garis keras menuju moderat yang menghormati hak asasi manusia.
Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ahli di Indonesia meyakini Taliban telah mengalami transformasi dari gerakan garis keras menuju moderat yang menghormati hak asasi manusia.

Sudarnoto Abdul Hakim, peneliti politik Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengatakan, Amerika Serikat berjasa membuka jalan bagi Taliban untuk kembali berkuasa di Afghanistan.

“Sebagai kelompok terbesar dan pernah membebaskan Afghanistan dari Rusia, Taliban berhak atas Afghanistan termasuk memimpin kembali negeri itu,” ujar Sudarnoto kepada Anadolu Agency pada Rabu (18/8).

Sudarnoto mengatakan, Taliban sekarang makin menyadari bahwa menjadi terbuka sebagai anggota komunitas global adalah hal yang penting. Faktor ekonomi misalnya, kata Sudarnoto, akan mendorong pemerintah Taliban untuk meninggalkan tindakan-tindakan ekstremisme dan menghargai aturan internasional.

“Ini bisa menjadi momentum penting bagi a new era of the new Taliban. Jika tidak, maka Afghanistan akan terkucil dari masyarakat internasional dan berpotensi miskin,” ucap dia.

Baca juga : Mengapa Taliban Wajibkan Pelihara Jenggot dan Pukul Wanita?

Indonesia, kata Sudarnoto, berpeluang menguatkan pemahaman Islam yang moderat sekaligus menjalin kerja sama saling menguntungkan di berbagai bidang.

“Indonesia sebagai negara Muslim bisa menjadi sumber inspirasi bagi pemerintah Taliban,” kata Sudarnoto.

Mewaspadai jebakan utang China

Sementara itu, ahli ekonomi Islam Anwar Abbas yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Islam Indonesia (MUI), menyoroti langkah China yang memanfaatkan penarikan pasukan AS untuk mendekat ke Taliban.

Uluran tangan China ini, kata Anwar Abbas, disambut baik Taliban karena tidak ada negara-negara maju di dunia sekarang ini yang bisa membantu mereka memulihkan ekonomi kecuali China.

Namun, kata Anwar, kalau Taliban tidak berhati-hati dalam menjalin kerja sama, maka pemerintah China bisa menjepit Taliban lewat jebakan utangnya (debt trap), sehingga tidak mustahil Afghanistan kembali terpuruk secara politik dan ekonomi.

Baca Juga



“Tentu saja itu tidak kita inginkan karena kita berharap Afghanistan bisa menjadi sebuah negara maju dan dihormati serta berdaulat secara ekonomi maupun politik,” kata Anwar Abbas dalam pernyataannya.

Pada Juli lalu, China menyambut Taliban di Beijing untuk mengatasi konflik yang ada di Afghanistan.

Sementara itu, juru bicara Taliban Suhail Shaheen mengatakan mereka menyambut baik investasi Beijing dalam pembangunan kembali Afghanistan yang dilanda perang.

Mendorong negara Muslim membangun Afghanistan

 

 

 

 

 

Muhyiddin Junaidi, Wakil Ketua Pertimbangan MUI yang juga tim negosiator perundingan damai ulama Afghanistan dan Taliban, mendorong peran Turki, Qatar, Pakistan, dan Indonesia untuk banyak terlibat membangun ekonomi Afghanistan.

Upaya tersebut, kata dia, untuk menghindari Afghanistan bergantung dari Rusia dan China.

“Negara-negara Muslim harus banyak terlibat dalam pembangunan infrastruktur dan kapasitas building membangun Afghanistan,” kata dia dalam diskusi virtual.

Muhyiddin, yang pernah bertemu Taliban di Doha dan Jakarta menyambut baik perubahan paradigma Taliban yang memastikan hak-hak perempuan dan menghindari kekerasan dalam meraih kekuasaan.

“Hal ini adalah efek dari dialog Taliban dengan para ulama di luar Afghanistan, termasuk dengan ulama-ulama Indonesia,” ucap dia.

Indonesia menjadi tuan rumah dialog antara ulama pemerintah Afghanistan di Istana Kepresidenan di Bogor pada 2018.

Setelah itu, Taliban juga kembali mendatangi Jakarta untuk bertemu Majelis Ulama Indonesia pada 2019 untuk membicarakan perdamaian di Afghanistan.

 

sumber : https://www.aa.com.tr/id/dunia/ahli-taliban-masuki-era-baru-tapi-harus-berdaulat-secara-ekonomi/2338786
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler