Autoantibodi, Potensi Masalah Baru Pasien Covid-19 Berat
Autoantibodi membuat penyintas Covid-19 tak lepas dari masalah kesehatan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lansia berusia di atas 60 tahun hingga penderita penyakit jantung merupakan sebagian kelompok yang berisiko lebih tinggi mengalami Covid-19 berat. Bila mengalami Covid-19 berat, mereka juga harus menghadapi potensi masalah baru akibat autoantibodi.
Sebuah studi terbaru menemukan bahwa autoantibodi banyak ditemukan pada pasien-pasien yang bergelut dengan Covid-19 bergejala berat. Autoantibodi merupakan merupakan antibodi yang justru menyerang jaringan atau tubuh sendiri.
Studi ini dilakukan oleh profesor di bidang imunologi dari Stanford University School of Medicine Dr PJ Utz bersama timnya. Ada hampir 200 pasien Covid-19 rawat inap di rumah sakit yang terlibat dalam studi tersebut.
Sampel darah dari para pasien tersebut diambil pada bulan-bulan awal terjadinya pandemi Covid-19. Studi ini menemukan bahwa protein sistem imun yang menyerang jaringan tubuh sendiri muncul pada sekitar setengah dari pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.
Sampel-sampel dari para pasien tersebut menunjukkan adanya sinyal yang mirip dengan masalah autoimun, seperti lupus, penyakit tiroid, atau arthritis.
"Dalam banyak kasus, tingkat autoantibodi ini mirip dengan apa yang Anda lihat dalam sebuah diagnosis penyakit autoimun," ujar Dr Utz, seperti dilansir Express, Kamis (16/9).
Peneliti juga menemukan bahwa pasien-pasien tersebut memiliki konsentrasi autoantibodi yang tinggi. Kondisi ini biasanya terjadi ketika sistem imun tidak mampu membedakan antara sel asing dan sel tubuh sendiri.
Para peneliti menilai, keberadaan autoantibodi yang tinggi ini berisiko memunculkan komplikasi lebih lanjut di kemudian hari setelah pasien pulih dari Covid-19. Dr Utz bahkan mengatakan, pasien Covid-19 yang sampai harus dirawat di rumah sakit mungkin tak akan benar-benar bisa lepas dari masalah kesehatan setelah sembuh.
"Bila Anda cukup sakit akibat Covid-19 dan berakhir (dengan dirawat) di rumah sakit, Anda mungkin tidak akan lepas dari masalah, bahkan setelah Anda pulih," ungkap Dr Utz.
Dalam studi ini, lebih dari setengah pasien Covid-19 memiliki setidaknya satu tipe autoantibodi di dalam sampel darah mereka. Sebanyak 60 persen pasien memiliki autoantibodi yang dikenal dengan nama antibodi antisitokin. Sebanyak seperempat pasien juga memiliki autoantibodi bernama antibodi antinuklir. Antibodi antinuklir ini juga kerap berkaitan dengan penyakit autoimun.
Dr Utz menyoroti bahwa saat ini banyak orang yang belum divaksinasi Covid-19 dan meremehkan penyakit ini. Mereka melakukan hal tersebut karena melihat sebagian besar pasien Covid-19 bisa pulih dengan baik.
Akan tetapi, Dr Utz mengingatkan bahwa tak ada yang bisa memastikan apakah seseorang akan terkena gejala ringan atau berat bila tertular Covid-19. Bila yang terjadi adalah Covid-19 bergejala berat, maka akan ada konsekuensi jangka panjang yang mungkin harus dihadapi kemudian.
"Bila mengalami kasus yang buruk, Anda menempatkan diri Anda sendiri pada masalah seumur hidup karena virus itu mungkin memicu autoimunitas," ungkap Dr Utz.
Peneliti berencana melakukan studi lebih jauh untuk memahami hubungan antara autoimunitas dan infeksi berat Covid-19. Temuan dalam studi terbaru yang dilakukan Dr Utz ini juga sejalan dengan temuan-temuan studi lain yang menyoroti hubungan antara Covid-19 bergejala berat dengan penyakit autoimun.
Studi yang dipimpin oleh Yale University pada 2020, misalnya, menemukan bahwa pasien Covid-19 memiliki banyak autoantibodi yang menarget jaringan-jaringan tubuh. Tes yang dilakukan pada studi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi prevalensi autoantibodi ini, semakin berat pula infeksinya.