Tawaran Kapolri Membuka Tabir Kejanggalan TWK di KPK

Presiden diminta menjalankan rekomendasi Komnas HAM daripada menerima usulan Kapolri.

Prayogi/Republika
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Haura Hafizhah

Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, pada Selasa (28/9) membuat pernyataan mengejutkan lewat tawarannya kepada 56 pegawai yang dipecat KPK untuk bergabung menjadi aparatur sipil negara (ASN) Polri. Pegawai KPK yang dipecat pun mengaku ikut terkejut.

"Terus terang kami terkejut ya, dan terima kasih atas perhatian Kapolri. Tapi satu hal buat kami itu membuktikan ada problem dalam TWK kami," kata Hotman Tambunan di Jakarta, Rabu (29/9).

Hotman mengatakan, tawaran kepolisian itu semakin menegaskan, memang ada masalah dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi para pegawai KPK. Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi KPK nonaktif itu mengatakan, ajakan itu sekaligus mematahkan stigma yang muncul akibat TWK dimaksud.

Baca Juga



TWK merupakan proses alih pegawai KPK menjadi ASN yang menjadi polemik lantaran dinilai sebagai upaya penyingkiran pegawai berintegritas. Ombudsman juga menemukan banyak kecacatan administrasi serta didapati sejumlah pelanggaran HAM oleh Komnas HAM.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pun pernah menegaskan, 56 pegawai KPK yang tak lulus TWK memiliki rapor merah dan sudah tidak dapat lagi dibina. Namun anehnya kini, mereka yang dianggap tak bisa lagi dibina wawasan kebangsaannya dan distigma 'taliban' justru akan bisa diterima di institusi Polri.

Hotman menilai, tawaran Kapolri sekaligus mematahkan labelisasai dan stigamatisasi yang ada. "Nah itu yang diluar dugaan kan dan membuktikan TWK kami bermasalah. Polisi saja mau rekrut kami yang ditugaskan antiteroris, antirasisme, dan lainnya," katanya.

Kendati, menurutnya, kebijakan tersebut harus diperiksa dan diletakkan apakah ini sebagai respons pemerintah atas rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman. Dia mengatakan, hal ini bisa jadi juga merupakan sikap Presiden Joko Widodo atas permohonan para pegawai KPK.

"Sebagaimana yang kami minta selalu kan pemerintah bersikap dan tentu kami ingin memastikan dulu apakah ini sikap pemerintah atas surat-surat kami terkait rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman," katanya.

Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK nonaktif Giri Supardiono mengaku akan mencermati lebih dulu tawaran Kapolri tersebut. Ia mengaku tidak ingin terburu-buru dalam menyikapi kebijakan tersebut.  

"Kami masih konsolidasi dahulu bersama dengan 56 pegawai lainnya dan semua stakeholder antikorupsi untuk menyikapi kebijakan pemerintah ini," kata Giri di Jakarta, Rabu (29/9).

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Presiden Jokowi melihat rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman terkait hasil asesmen TWK. Hal ini seharusnya dilakukan sebelum mengizinkan 56 pegawai KPK ditarik ke kepolisian.

"Sebaiknya presiden menyampaikan sikap resminya terhadap temuan dan rekomendasi Komnas HAM terlebih dahulu sebelum memberikan "izin" kepada institusi lain untuk mengambil inisiatif terkait status 56 pegawai KPK," kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di Jakarta, Rabu (29/9).

Komisioner Komnas HAM lainnya, Choirul Anam mengatakan, penjelasan tersebut dibutuhkan agar masyarakat memahami keputusan telah diambil mengikuti rekomendasi Komnas HAM sebagian atau seluruhnya. Dia menegaskan, hal ini penting mengingat ada berbagai pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK.

Anam mengingatkan, pelanggaran HAM itu salah satunya lahir karena proses tes yang melanggar hukum, terselubung dan ada yang ilegal. Dia menegaskan, bahwa kondisi itu harus tetap dijadikan konteks dalam dasar kebijakan presiden Jokowi.

"Ide yang ditawarkan oleh kapolri jika dipahami secara mendalam dapat diartikan sebagai sikap presiden," katanya.

Lebih lanjut, dia mengungkit arahan Presiden Jokowi yang intinya pelaksanaan TWK dan peralihan status tidak boleh merugikan pegawai KPK. Anam mengatakan, arahan ini pula yang seharusnya menjadi salah satu dasar rekomendasi disamping putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Dari beberapa hal diatas rekomendasi kami tetap kami jadikan rujukan utama. Dan kami berharap mendapat penjelasan langsung presiden terkait substansi penjelasan kapolri," katanya.

Pakar hukum pidana, Suparji Ahmad mempertanyakan, mengapa tiba-tiba diputuskan 56 pegawai KPK itu bisa menjadi ASN Polri. Hal ini harus dijelaskan oleh pemerintah, karena pasti masyarakat bertanya 56 pegawai tersebut tidak lulus TWK KPK tapi bisa dipindahkan di Polri.

"Ini bisa jadi pertanyaan juga ya. Kenapa kalau tidak lulus TWK. Tapi bisa dipindahkan di Polri. Ini harus dijelaskan ya," ujar dia.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2011-2015, Abraham Samad menegaskan bahwa pegawai lembaga antirasuah bukan orang pencari kerja. Dia mengatakan, puluhan pegawai yang disingkirkan melalui TWK itu merupakan orang yang berjuang melawan korupsi.

"Para pegawai yang diberhentikan itu bukanlah orang pencari kerja tapi mereka adalah orang-orang yang selama ini berjuang memberantas korupsi di KPK secara sungguh-sungguh," kata Samad di Jakarta, Rabu (29/9).

Menurut Samad, puluhan pegawai yang telah diberhentikan oleh pimpinan KPK itu merupakan warga negara yang selama ini tetap menjaga integritas KPK. Dia mengatakan, bahwa Novel Baswedan dan rekan-rekan merupakan pegawai yang dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu.

Samad meminta agar Presiden Jokowi mengambil sikap tegas terkait polemik akibat TWK yang penuh dengan kecacatan administrasi. Dia mengimbau agar Presiden Jokowi segera mengangkat 56 pegawai tersebut menjadi ASN di KPK.

"Bukan di tempat dan di instansi lain," katanya.

Ombudsman RI telah menyampaikan hasil pemeriksaan terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler