Masyarakat, Mulailah Menghafal NIK Masing-Masing
Jokowi terbitkan Perpres, wajibkan penggunaan NIK/NPWP dalam setiap layanan publik.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Febrianto Adi Saputro, Antara
Pemerintah mewajibkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam setiap pelayanan publik. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 tahun 2021 tentang Pencantuman dan Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Pelayanan Publik tertanggal 9 September 2021.
Dalam pasal 3 disebutkan, pencantuman NIK dan/atau NPWP dimaksudkan sebagai (1) penanda identitas untuk setiap pemberian pelayanan publik di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atas permohonan pelayanan publik yang disampaikan; atau (2) penanda identitas untuk setiap data penerima pelayanan publik yang statusnya masih aktif di NKRI.
Dalam penerapannya, NIK menjadi penanda identitas bagi orang pribadi yang belum memiliki NPWP; NIK dan NPWP sebagai penanda identitas bagi orang pribadi yang telah memiliki NPWP; dan NPWP sebagai penanda identitas bagi badan dan orang asing yang tidak memiliki NIK (pasal 4). Penyelenggara negara yang melakukan bertanggung jawab atas keakuratan dan validasi NIK adalah Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil sedangkan untuk NPWP adalah Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (pasal 6).
"Penyelenggara wajib melindungi kerahasiaan data penerima layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian disebutkan dalam pasal 11 Perpres 83 tahun 2021 yang diakses dari laman Kementerian Sekretariat Negara di Jakarta, Rabu (29/9).
Dalam pertimbangan perpres disebutkan, penggunaan nomor identitas yang terstandardisasi dan terintegrasi berupa NIK dan/atau NPWP merupakan rujukan identitas data yang bersifat unik, sebagai salah satu kode referensi dalam pelayanan publik untuk mendukung kebijakan satu data Indonesia.
Data penerima layanan yang telah dilengkapi NIK dan/atau NPWP dan telah tervalidasi dapat dipakai untuk:
- Pencegahan tindak pidana korupsi;
- Pencegahan tindak pidana pencucian uang;
- Kepentingan perpajakan;
- Pemutakhiran data identitas dalam Data Kependudukan; dan
- Tujuan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Presiden Jokowi menetapkan jangka waktu dua tahun bagi penyelenggara negara untuk menyelesaikan pencantuman NIK dan/atau NPWP untuk setiap data penerima pelayanan publik yang statusnya masih aktif di Indonesia sejak berlakunya Perpres 83 tahun 2021.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh meminta masyarakat mulai menghafal NIK masing-masing.
“Itu NIK-nya memang harus diingat. Ini memang ada proses membiasakan mengingat NIK dan nama. Kalau dulu kan hanya mengingat nama. Tapi nama banyak yang sama, sekarang hanya mengingat NIK,” ujar Zudan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/9).
Menurut Zudan, bagi masyarakat yang belum mempunyai NPWP, cukup mencantumkan NIK. Dia mengatakan, Kemendagri akan memastikan tidak ada lagi nomor-nomor yang lain selain NIK sebagai single identity number.
"Berobat ke rumah sakit ingat NIK, mengurus SIM ingat NIK, mengurus kartu prakerja ingat NIK, bantuan sosial ingat NIK,” kata Zudan.
Zudan menambahkan, terdapat sejumlah tantangan dalam menjalankan kebijakan tersebut. Selain masyarakat yang harus mulai menghafal NIK, belum semua lembaga, institusi, badan, korporasi, atau penyelenggara pelayanan publik sudah bisa mengakses data NIK di Dukcapil Kemendagri.
Padahal, akses intergrasi data kependudukan penting pada saat proses validasi. Apakah NIK yang dicantumkan warga sebagai penerima layanan sudah benar atau tidak.
“Semua harus terintegrasi nanti karena kita ingin menuju satu data Indonesia. Untuk NIK satu data kependudukan. Sebab kalau enggak ada validasi orang nulis NIK-nya nanti ngawur. Bisa saja nulis NIK-nya asal,” kata Zudan.
Lalu, dia juga mengakui masih banyak penyelenggara publik yang belum memiliki alat pembaca KTP elektronik atau card reader sehingga masih mensyaratkan fotokopi KTP. Padahal, dengan card reader itu bisa memudahkan kerja penyelenggara dan mencegah tercecernya identitas kependudukan.
Zudan menuturkan, Kemendagri tentu harus memperkuat infrastruktur pusat data kependudukan agar proses validasi tidak terhambat. Negara wajib menyediakan infrastruktur agar warga mendapatkan layanan publik.
Zudan juga mengatakan, kebijakan ini sebagai intervensi kepada warga yang belum mengurus NIK. Sebab, warga yang belum memiliki NIK tidak bisa mendapatkan pelayanan publik.
Menurut dia, saat ini warga negara yang sudah memiliki KTP elektronik sebanyak 195 juta dari target wajib KTP 198 juta. Sisanya sekitar tiga juta paling banyak berada di Papua dan Papua Barat.
“Saya kan enggak bisa halus terus kan. Enggak bisa dengan cara lunak terus gitu lho. Jadi semangatnya dengan membangun ekosistem. Kalau anda enggak punya NIK enggak bisa masuk dalam sistem. Maka mau enggak mau anda harus urus. Kalau anda enggak bisa urus undang kami yang datang jemput bola,” jelas dia.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mendukung kewajiban penggunaan NIK dalam pelayanan publik ini. Menurutnya, warga negara memang wajib memiliki NIK dan negara wajib memenuhi hak mereka seperti pelayanan publik.
“Supaya bisa dilayani pemerintah diberikan bantuan sosial dan sebagainya harus punya NIK, betul kan, di negara yang beradab ya begitu,” tutur Agus saat dihubungi Republika, Kamis.
Agus mengatakan, mengenai kesiapan pemerintah dalam hal infrastruktur dan keamanan data dapat dilakukan secara beriringan. Paling penting tidak ada hak warga negara yang dilanggar atau pemerintah lalai menjalankan kewajibannya untuk memberikan hak kepada warga negara.
“Mau dibolak-balik sama saja yang penting penuhi semua itu. Mau keamanan data kalau KTP elektronik enggak ada, terus NPWP-nya enggak diurus, sama saja enggak jalan. Kan harus semua jalan,” kata dia.
Di sisi lain, Agus meningatkan negara harus menjamin kerahasiaan data pribadi warga sebagaimana diamanatkan peraturan perundangan-undangan maupun Perpres 83/2021. Agus pun kerap menagih Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi agar segera diterbitkan.
Ihwal perlindungan data pribadi, pada hari ini, DPR RI memutuskan memperpanjang pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Hal tersebut disepakati dalam Rapat Paripurna keenam Masa Sidang I Tahun Sidang 2021-2022.
"Maka dalam rapat paripurna hari ini apakah kita dapat menyetujui perpanpanjangan waktu pembahasan RUU tersebut?" kata Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar selaku pimpinan sidang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (30/9).
Selain RUU PDP, Paripurna juga menyepakati memperpanjang dua RUU lainnya. Dua RUU tersebut yaitu RUU Landas Kontinen dan RUU Praktik Psikologi. Massa perpanjangan diberikan hingga massa persidangan ke II.
Untuk diketahui, pembahasan RUU PDP sampai saat ini belum selesai dibahas. Deadlock masih terjadi antara DPR dengan pemerintah.
Di satu sisi Komisi I DPR menghendaki adanya badan pengawas yang berada di luar pemerintah dan bertanggung jawab langsung ke presiden. Sementara sisi lain pemerintah menginginkan lembaga pengawas tersebut dilakukan kementerian/lembaga yang ada.
Sebelumnya RUU PDP sudah diperpanjang sebanyak dua kali, yaitu September 2020, dan Juni 2021. Sehingga total sudah diperpanjang sebanyak tiga kali.