Mualaf Peter: Hidayah adalah Anugerah Berharga  

Mualaf Peter mendapat hidayah saat berada di Indonesia

About Islam
Perlunya Mualaf Didampingi Mentor
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Mualaf ini lahir di Negeri Belanda, tepatnya Kota Schoonhoven, sekira 34 tahun lalu. Peter Oudenes, demikian namanya, menemukan hidayah Ilahi ketika berada di Indonesia. Perantauannya pertama kali ke negara Asia Tenggara ini terjadi beberapa tahun lalu, sewaktu dirinya mendapatkan pekerjaan selepas kuliah. 


Mungkin, pada waktu dahulu tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk memilih Islam. Bagaimanapun, Allah Mahaberkehendak. Cahaya petunjuk-Nya menyinari siapa saja yang dikehendaki-Nya. Bila mengingat hal ini, tidak ada kata terucap dari lisan Peter selain hamdalah, bersyukur ke hadirat-Nya. 

Lelaki berperawakan tinggi ini menuturkan kisah hidupnya. Ia tumbuh besar tidak jauh berbeda dengan kebanyakan anak-anak Belanda. Begitu lulus dari SMA, dirinya meneruskan studi pendidikan tinggi. 

Sukses meraih gelar, pria berambut pirang ini lantas memutuskan untuk segera mencari pekerjaan. Dalam bayangannya, alangkah menyenangkan hidup mandiri, dapat mengandalkan pemasukan dari kerja sendiri. 

Tuntutan profesi membuatnya harus melanglang buana. Pihak kantor menugaskannya be kerja di Indonesia. Saat itu, Peter cukup antusias dengan keputusan tersebut. Apalagi, Bali menjadi tempat tujuannya. Kepindahannya ke Pulau Dewata itu terjadi sekitar 10 tahun silam. Nasib orang siapa yang tahu. Berada di negara asing tidak membuatnya serba terbatas. 

Justru, Peter mempunyai banyak kawan, tempatnya berbagi suka dan duka. Di antara mereka, ada seorang perempuan yang mem buatnya jatuh hati. Dialah Rika Kartika. Perempuan asal Cianjur, Jawa Barat, itu sedang berada di Bali sembari bekerja. Waktu itu, Muslimah ini merupakan seorang ibu tunggal dengan dua orang anak. 

Baca juga : Selandia Baru Hentikan Praktik Kontroversi Pisahkan Anak

Antara Peter dan Rika pun terjalin perasaan saling suka. Keduanya lantas ingin melangkah ke taraf hubungan yang lebih berkomitmen. Maka mereka memutuskan untuk menikah. Itu terjadi sejak kira-kira satu tahun usai pertama kali berkenalan. 

Peter mengenang, saat itu perbedaan iman belum menjadi sesuatu yang digubrisnya. Apalagi, katanya, Rika saat itu pun tidak mempersoalkan agamanya yang non-Islam. Bagaimanapun, pembicaraan tentang ini tetaplah ada. 

Setelah berdiskusi, disepakatilah bahwa sang calon suami-lah yang kemudian memeluk Islam. Peter melakukannya dengan ikhlas. Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, menurut dia, keputusannya saat itu tidak disebabkan adanya pernikahan.  

Sebab, sejak pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia, dirinya sudah ingin mengenal Islam lebih dekat. Sebelum bertemu Rika, keinginan itu hanya didasari rasa penasaran tidak kurang, tidak lebih. Akan tetapi, saat menjalin hubungan dengan perempuan tersebut, kehendaknya untuk mempelajari agama ini kian kuat. 

Pada Mei 2012, Peter mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Denpasar. Prosesi itu disaksikan oleh ulama setempat, beberapa jamaah, dan tentu saja Rika sang calon istri. Beberapa hari sesudahnya, pernikahan antara keduanya pun dilangsungkan. Resmi sudah mereka mulai membina rumah tangga. 

Niat Peter untuk serius mendalami Islam tidak berhenti pada ujaran lisan. Setiap hari, dirinya selalu meluangkan waktu untuk membaca banyak buku dan menonton video tentang agama ini. Tidak hanya konten-konten mengenai ibadah harian. Lebih lanjut, ia sungguh sungguh mengkaji dasar agama ini Alquran dan hadits serta sosok mulia yang membawanya, yakni Nabi Muhammad SAW. 

Semula, Rika agak terkejut dengan antusiasme suaminya dalam mempelajari Islam. Pernikahan hanyalah jalan, bukan alasan, Peter untuk menjadi seorang Muslim. Berdasarkan pengajian yang disimaknya, ia mendapati bahwa kewajiban seorang Muslim setelah ber syohadat ialah sholat lima waktu. Dan, dalam budaya Indonesia pakaian shalat adalah peci, baju koko, serta sarung. 

Peter langsung meminta istrinya untuk membeli semua perlengkapan tersebut. Melihat semangat ini, Rika pun ikut mendukungnya. Tidak hanya membelikan apa-apa yang diminta. Wanita tersebut juga memajang poster tuntunan gerakan sholat di dinding kamar. Dengan begitu, suaminya bisa setiap waktu menghafalkan dasar-dasar ibadah tersebut. 

Baca juga : KPPPA Tegaskan Komitmen Cegah Praktik Sunat Perempuan

Sebagai pasangan, mereka berdua saat itu belum lepas dari kebiasaan buruk. Ya, walaupun secara resmi sudah berislam, beberapa hal masih dilakukannya. Misalnya, meminum minuman keras. Peter menuturkan, memang istrinya waktu itu belum terlalu taat beribadah. 

Sholat masih sering bolong-bolong. Sebagai mualaf, keteguhan iman dalam diri Peter pun masih sarat ujian. Karenanya, sering juga dirinya terbawa suasana, hingga mabuk-mabukan atau berpesta sampai pagi. 

Hingga suatu saat, Peter memutuskan untuk kembali ke Belanda. Sebab, di tanah air nya itu ada sebuah perusahaan yang menjanjikan karier lebih baik untuknya. Sambil memboyong istri dan anak-anak, ia pun mengurus seluruh dokumen kepulangan di Jakarta.  

Setelah semua urusan administrasi selesai, keduanya kembali beristirahat. Di sela-sela waktu luang, pasangan suami-istri ini menikmati minuman beralkohol di salah satu klub malam. Namun insiden pun terjadi. Seorang pengunjung berperilaku tidak sopan kepada Rika. 

Peter seketika marah. Ia mengajak pengganggu istrinya itu untuk berkelahi. Kejadian ini begitu memalukan, baik untuk Peter maupun Rika. Beberapa hari kemudian, keduanya saling mengobrol dari hati ke hati. Mereka memutuskan untuk meninggalkan kebiasaan buruk: menenggak khamar. 

"Kita tidak perlu lagi minum minuman keras dan mencari tempat seperti ini lagi (klub malam) ke depannya, ujar Peter me ni rukan perkataannya kepada sang istri saat itu. Untuk apa? Lagipula, kami berdua sudah suami-istri. Lebih baik menghabiskan waktu di rumah,” lanjutnya saat dihubungi Republika baru-baru ini.

Sejak saat itu mereka meninggalkan minuman haram dan gaya hidup bebas di malam hari. Setelah Peter selesai mengurus dokumen, Peter segera berangkat ke Belanda. Tetapi istrinya tetap di Bali karena masih memiliki pekerjaan.  

Kini, Peter merasa sangat bahagia. Ia, istri, dan anak-anaknya hidup tenteram di Negeri Kincir Angin. Kepada mereka, dirinya selalu memberikan teladan dan bimbingan agar menjalani keseharian secara islami. Memang, diakuinya, menjadi Muslim berarti menjadi minoritas di Belanda. Dan, ini agak sulit.

Misalnya, tatkala dihadapkan pada dunia kerja. Syukurlah, Peter bekerja di luar kantor (work from home) sehingga dengan leluasa menunaikan ibadah harian. Meski terkadang dia mendapat sindiran, Peter tidak terlalu peduli.

Baca juga : Muslim Assam Terguncang Pascatragedi Penggusuran Mematikan

Ia kini lebih senang berdakwah kepada teman-temannya. Tak masalah jika perkataannya didengar atau tidak. Yang terpenting baginya, kewajiban tabligh sebagai seorang Muslim sudah dilaksanakannya. 

Karena hidayah adalah anugerah yang datang dari Allah. Hanya Allah yang memutuskan, siapa-siapa saja yang hatinya tersentuh cahaya Islam, agama yang sempurna ini, ucapnya dengan penuh keyakinan.

Selain umroh dan haji yang kini menjadi cita-citanya, dia berharap kenikmatan Iman dan Islam ini tidak akan pernah hilang. Dan, tentu saja harapannya adalah melihat anakanaknya tumbuh besar sebagai insan yang beriman dan bertakwa.  

sumber : Dok Istimewa
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler