Sistem Keuangan Kolaps, Warga Afghanistan Melirik Kripto
Kripto menjadi penyelamat ketika bank di Afghanistan tutup.
REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Ketika Roya Mahboob mulai membayar gaji pekerjanya dengan bitcoin hampir 10 tahun lalu, tak pernah terpikir olehnya mata uang digital itu bisa menjadi tiket mereka keluar dari Afghanistan setelah Kabul jatuh ke tangan Taliban pada Agustus lalu. Mahboob, perempuan pendiri lembaga nirlaba Digital Citizen Fund, mengajari ribuan gadis dan perempuan dewasa keterampilan komputer dasar di Herat dan Kabul.
Para perempuan itu juga menulis blog dan membuat video yang hasilnya dibayar dengan uang tunai. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki rekening bank lantaran dilarang atau karena tidak punya dokumen pelengkap.
Mahboob lalu menggunakan sistem perantara keuangan informal Hawala untuk mengirim uang sebelum dia mengetahui adanya bitcoin. "Dulu tak pantas -atau aman- mengirim uang tunai ke orang lain, tapi uang digital belum dipakai secara luas, dan opsi-opsi seperti PayPal belum tersedia. Lalu kami mendengar tentang bitcoin," kata Mahboob, 34 tahun, kepada Thomson Reuters Foundation.
"(Bitcoin) mudah digunakan, lebih murah dan lebih aman dibanding opsi lain. Jadi, kami ajari gadis-gadis itu cara menggunakannya dan mulai membayar staf dan kontributor dengan mata uang itu, kami bilang ke mereka itu adalah investasi masa depan," kata dia.
Sekitar sepertiga dari hampir 16.000 gadis dan perempuan dewasa yang belajar komputer dasar di pusat-pusat pelatihan milik Mahboob juga mempelajari cara membuat akun dompet kripto dan menerima uang. Jika tertarik, mereka juga belajar jual-beli dan berinvestasi dalam bitcoin dan ethereum, mata uang digital populer lainnya.
Beberapa dari mereka meninggalkan Afghanistan usai kejatuhan Kabul pada 15 Agustus. "Sebagian di antaranya menggunakan dompet kripto untuk memindahkan uang keluar, membantu evakuasi keluarga mereka dan untuk menetap di negara baru," kata Mahboob.
Penggunaan uang kripto tumbuh pesat di seluruh dunia. El Salvador pada September menjadi negara pertama yang mengadopsi bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah, meski ada kekhawatiran kebijakan itu membuat kaum miskin semakin terpinggirkan.
Ketika para investor besar mengangkat harga bitcoin ke rekor tertinggi tahun ini, uang kripto itu semakin banyak dipakai oleh mereka yang tak punya akses ke bank formal, berada di zona konflik, atau tinggal di negara dengan pemerintahan yang rapuh.
"Di negara-negara gagal atau bermasalah, (uang kripto) itu memberi jalan bagi masyarakat untuk menafkahi keluarga," kata Keith Carter, lektor kepala di Universitas Nasional Singapura (NUS).
Dia mencontohkan Venezuela, negara yang masyarakatnya membeli barang pokok dengan dogecoin setelah nilai mata uang lokal terjun bebas."Uang kripto, jika memungkinkan, akan muncul di wilayah dengan infrastruktur digital terbatas, dan mendorong pembangunan infrastruktur dengan tuntutan yang semakin tinggi terhadap layanan digital," kata dia.
Pilihan Bagus
Uang-uang kripto tengah bergeser dari sistem pinggiran ke sistem utama keuangan setelah para investor besar -dan bahkan negara-negara- mulai memakainya sebagai aset dan alat pembayaran rutin. Namun di negara seperti Afghanistan, negara yang mayoritas penduduknya tak memiliki rekening bank serta bank-bank tutup, penganut kripto mulai bangkit.
Seperti Farhan Hotak, 22 tahun, yang membantu keluarganya mengungsi dari provinsi di selatan, Zabul, ke Pakistan. Dia kembali ke Afghanistan untuk melihat rumahnya dan membagikan video tentang situasi saat itu kepada 20 ribu lebih pengikutnya di Instagram.
Hotak mengaku memakai kripto sejak 2019, ketika dia mulai mendengar tentang keuntungan besar yang bisa didapat dari bitcoin. Saat kotanya dikunci akibat wabah COVID-19 tahun lalu, dia menghabiskan sebagian besar waktunya di internet dan mulai berinvestasi.
Awalnya, dia hanya mencari keuntungan cepat dari jual-beli, lalu mulai jadi pengikut pengguna kripto lain dan berinvestasi di koin-koin baru seperti Matic, XRP and xHunter."Ini pilihan yang bagus bagi saya, dan bagi orang lain seperti saya," kata Hotak, yang kerap mengunggah vlog tentang kripto di Instagram.
"Saya ingin membuka kursus kripto bagi warga Afghanistan untuk membuat mereka memahaminya dengan lebih baik sehingga bisa membantu mereka. Sekarang saya akan berbicara soal kripto di setiap provinsi yang saya kunjungi," kata dia.
Meski pembicaraan tentang uang kripto merujuk pada beragam keuntungan seperti nilai lindung terhadap ketidakpastian politik dan mengirim uang tanpa biaya tambahan, banyak negara masih mengkhawatirkan keamanannya. China pada September melarang semua aktivitas yang berkaitan dengan mata uang kripto.
Para peneliti di Universitas Teknologi Sydney, Australia, menemukan bahwa hampir separuh transaksi bitcoin pada 2009-2017 terkait dengan jual-beli barang dan jasa ilegal. Sekitar sepertiga penggunanya terlibat dalam aktivitas semacam itu.
Namun, sebuah laporan dari perusahaan riset Chainanalysis menunjukkan bahwa porsi kejahatan dari semua aktivitas kripto tahun lalu turun 0,34 persen dari 2,1 persen pada 2019. Bagi Mahboob dan murid-muridnya, juga pengguna lain yang kebanyakan pria muda di Afghanistan, mata uang kripto telah menjadi penyelamat, terlepas dari segala risikonya.
"Sekarang saya berpikir -kenapa kita tidak mengajarkan kripto secara lebih agresif, sehingga lebih banyak orang Afghanistan punya dompet kripto dan mampu mengakses uang mereka," kata Mahboob, yang dinobatkan oleh majalah Time sebagai satu dari 100 tokoh berpengaruh pada 2013.
"Pelaku perdagangan manusia dan penculik selalu punya cara untuk menyiasati sistem, namun kekuatan kripto lebih besar. Terutama bagi kaum wanita dan mereka yang tak punya rekening bank, kripto sangat menguntungkan dan memberdayakan," kata dia.