Kiprah Ottoman Lawan Inkuisisi Spanyol di Negeri Islam
Ottoman memperjuangkan nasib umat di sejumlah negeri Islam.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hasanul Rizqa
Raja Ferdinand II (1452-1516) dan Ratu Isabella I (1451-1504) menmimpikan Spanyol sebagai negara satu agama. Setelah mengalahkan negeri Islam (thaifa) Granada pada 1492, keduanya segera menerapkan pemaksaan agama kepada kaum Muslimin dan Yahudi setempat. Lembaga Inkuisisi, yang didirikan sejak 1478, dipakai sebagai alat pukul.
Walaupun Inkuisisi sejatinya adalah pengadilan gerejawi, paus menyerahkan pelaksanaannya kepada masing-masing negara Katolik. Ribuan orang tercatat sebagai korban, termasuk mereka yang mengaku telah meninggalkan iman semula karena masih saja dituding penguasa sebagai pura-pura Katolik.
Raja dan ratu tersebut juga berupaya menghapus jejak-jejak kebesaran Islam di al-Andalus. Memang, usaha keduanya bukanlah hal yang baru. Raja Castile-Leon, Alfonso VI, setelah menaklukkan Toledo pada 1085 memaklumkan misi “penaklukkan kembali” atau Reconquista atas seluruh Semenanjung Iberia dari tangan Islam.
Puluhan kali kerajaan-kerajaan Katolik melakukan pertempuran untuk meruntuhkan kedaulatan Muslimin dari kawasan tersebut. Barulah sejak kerajaan Aragon bersatu dengan Castile-Leon—yang ditandai dengan pernikahan antara Ferdinand II dan Isabella I pada 1469—misi tersebut semakin santer. Granada pun menjadi thaifa terakhir di Andalusia.
Maka, tidak ada lagi perayaan hari-hari besar Islam, seperti Idul Adha atau Idul Fitri, di Spanyol. Sebaliknya, dengan semangat Reconquista Ferdinand II dan Isabella I menjadikan Dia de la Toma sebagai hari libur nasional. Perayaan yang jatuh tiap tanggal 2 Januari itu menjadi momen pengingat jatuhnya Granada ke tangan Kristen, tepatnya pada 2 Januari 1492. Bahkan, hingga kini selebrasi tersebut masih digelar secara rutin tahunan oleh sebagian masyarakat Spanyol.
Sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16, kaum Muslimin Andalusia tidak tinggal diam terhadap kekejaman Spanyol. Dapatlah dipahami bahwa tujuan akhir metode Inkuisisi bukanlah kristenisasi, melainkan pengusiran seluruh umat Islam dari Iberia. Berbagai perlawanan pun bergelora di kota-kota di Spanyol. Akan tetapi, rezim setempat dapat memadamkan satu per satu pemberontakan yang terjadi. Sering kali, penguasa menggunakan cara-cara yang sangat kejam dan jauh dari rasa kemanusiaan, semisal membakar orang hidup-hidup.
Dalam situasi demikian, wajar saja bila umat Islam setempat meminta bantuan kepada raja-raja Muslim di luar negeri. Tokoh-tokoh mereka mengirimkan utusan dan surat kepada sejumlah sultan dengan harapan, para penguasa yang seiman itu dapat menyelamatkan penduduk Andalusia dari kezaliman raja dan ratu Katolik ekstrem. Pengiriman duta tersebut menimbulkan kehebohan di dunia Islam.
Tak sedikit pemimpin Muslim yang segera menyampaikan pesan kepada paus di Roma. Petinggi Katolik itu diingatkan, kaum Nasrani di bawah pemerintahan Islam dilindungi kebebasannya dalam beragama dan muamalah. Mengapa orang-orang Islam di Iberia menerima kezaliman yang luar biasa? Bagaimanapun, paus tampak acuh tak acuh dengan pelbagai protes yang berdatangan. Spanyol seperti dibiarkan untuk membersihkan unsur Islam dari negerinya.
Pada waktu itu, Turki Utsmaniyah (Ottoman) belum menyandang titel kekhalifahan. Meskipun demikian, kerajaan Islam itu tetap menjadi salah satu tumpuan harapan kaum Muslimin Andalusia. Mereka berkirim surat kepada raja Ottoman saat itu, Sultan Beyezid II.
Isinya antara lain sebagai berikut, seperti dikutip sejarawan Ali Muhammad ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (2003), “Semoga Allah memanjangkan umur kerajaan dan hidup Tuan. Semoga Dia menolongmu dengan kemenangan atas musuh, dan menempatkanmu di tempat yang diridhai dan dimuliakan. Kami adukan kepada Tuan semua yang kami alami dan rasakan.”
Dalam surat yang sama, mereka juga mengeluhkan hasil diplomasi yang dilakukan kekhalifahan Islam saat itu, Dinasti Mamluk. Kerajaan Islam yang berpusat di Mesir itu memang telah merespons surat penduduk Muslim Andalusia terkait tragedi Reconquista. Sultan Mamluk pun mengirimkan utusan kepada paus dan kerajaan Katolik. Akan tetapi, para pemuka Nasrani setempat tidak menanggapinya secara serius.
Sebagai langkah awal, Beyezid II menginisiasi kesepakatan dengan Mamluk untuk menyatukan kekuatan. Dalam perjanjian tersebut, Sultan Turki menyanggupi pengiriman armada laut ke Sisilia yang berada di bawah kekuasaan Spanyol. Adapun Sultan Mamluk berkewajiban menyerang Spanyol dari Afrika Utara.
Dalam hal ini, Beyezid II mengandalkan kepemimpinan pasukannya kepada Laksamana Kamal Reis yang masyhur di seluruh Mediterania sebagai ahli strategi yang brilian. Namun, angkatan laut Utsmaniyah akhirnya mesti menghadapi gabungan dari tiga kekuatan sekaligus, yakni Spanyol, Prancis, dan Venesia ketika berlayar di Teluk Lapanto pada 1499. Pertempuran tersebut berakhir dengan gencatan senjata antara kedua kubu.
Beyezid II wafat pada 26 Mei 1512. Penggantinya adalah Sultan Selim I. Di bawah kepemimpinannya, Ottoman akhirnya berhasil merebut titel kekhalifahan dari Mamluk. Itu terjadi setelah Selim I menguasai pemerintahan atas tiga kota suci, yakni Yerusalem, Madinah, dan Makkah. Meskipun “sibuk” di kawasan Bulan Sabit Subur, perhatiannya tidak kurang kepada Mediterania Barat. Apalagi, penduduk lokal Iberia yang Muslim masih saja dipersekusi penguasa Katolik yang berhaluan ekstrem hanya karena mereka bertahan pada imannya.
Untuk diketahui, Reconquista yang terjadi pada akhir abad ke-15 tidak hanya dimotori Kerajaan Spanyol. Portugis pun pada masa itu melakukan hal serupa, khususnya dalam memupuk kebencian terhadap kaum yang tak seagama. Kerajaan yang terletak di sisi barat Iberia itu semakin agresif menyerang Muslimin terutama sejak dipimpin Pangeran Henry (Henrique O Navegador). Pasukannya telah merangsek hingga ke Maghribi (Maroko) pada 1450-an. Sejak itu, berbagai kota pelabuhan strategis di Afrika Utara dapat direbutnya dari tangan Islam.
Pangeran Henry terkenal akan kebenciannya terhadap Islam. Mental Islamofobia itu diwariskan dari ayahnya, Raja John I. Pernah disampaikannya dalam sebuah pidato, “Khidmat utama yang kita persembahkan kepada tuhan adalah dengan mengusir orang-orang Arab dari negeri ini (Iberia) dan memadamkan obor api pengikut Muhammad sehingga setelah itu tidak ada lagi bara yang membakar.
” Bahkan, salah satu impiannya adalah mencuri jasad Rasulullah SAW dimakamkan di Kota Madinah. Katanya, “Tujuan utama kita adalah sampai ke tempat-tempat suci orang Islam, memasuki Masjid Nabawi dan mengambil jasad Muhammad. Kita jadikan itu barang gadai dalam perundingan dengan orang Arab untuk merebut Yerusalem.”
Dalam periode pemerintahannya, Selim I berhasil merebut kembali wilayah-wilayah Islam di sepanjang Teluk Arab dan Laut Merah yang sebelumnya diduduki Portugis. Dengan begitu, ambisi kerajaan Katolik itu untuk memonopoli perniagaan maritim di Samudra Hindia dapat ditanggulangi—meskipun untuk sementara waktu. Utsmaniyah juga berhasil menjaga kesinambungan rute perdagangan yang menghubungkan Nusantara, India, Arab, dan pesisir Laut Merah. Akan tetapi, hingga wafatnya pada 1520 sang sultan tidak mampu menggempur langsung pertahanan Portugis di Iberia.
Bajak laut penolong
Pada era Beyezid II dan Selim I, kekuatan maritim Ottoman juga ditunjang oleh keberadaan kelompok-kelompok pelaut corsair. Terminologi corsair berasal dari bahasa Italia, corsaro, yang berakar dari bahasa Latin abad pertengahan, cursarius. Artinya secara harfiah adalah ‘bajak laut’ atau ‘pelarian.’ Para pelaut yang mengeklaim diri sebagai corsair bertindak independen seperti halnya bajak laut liar (outlaw), tetapi segala tindakannya itu diperuntukkan bagi kejayaan negeri tertentu.
Salah satu kelompok corsair yang mengabdi pada Ottoman ialah Barbarossa bersaudara. Si sulung akrab disapa Baba Oruc, yang berarti ‘Ayah Oruc.’ Sapaan itu kemudian disalahpahami para pelaut Italia sehingga menjadi Barbarossa. Dalam bahasa setempat, itu berarti ‘si janggut merah.’
Baba Oruc dikenang karena kebesaran hatinya dalam menolong ribuan pengungsi dari Andalusia pada akhir abad ke-15. Ia berhasil menyelamatkan nyawa ribuan orang Islam dan Yahudi yang lari dari persekusi rezim Inkuisisi Spanyol. Mereka dibawanya ke berbagai kota yang aman di Afrika Utara dan pesisir barat Bulan Sabit Subur, yang waktu itu termasuk wilayah Ottoman. Lantaran kiprahnya itu, sultan Turki pun mulai mengenal reputasinya.
Tidak hanya ringan tangan, Baba Oruc pun memiliki spirit pejuang. Berbasis di Aljir (Aljazair), ia memimpin berbagai misi maritim untuk mengusir Spanyol dari Afrika Utara. Pada dasawarsa awal abad ke-16, kekuatan armadanya kian tergerus. Untuk melindungi rakyat setempat, pilihan terbaiknya ialah bekerja sama dengan Ottoman. Dan, kerajaan Islam itu memang telah lama menaruh simpati terhadap kiprahnya. Sultan Selim I kemudian mengangkatnya sebagai gubernur (bey) Utsmaniyah untuk Mediterania Barat yang berpusat di Aljir. Sang sultan juga memberikan untuknya dukungan persenjataan, armada, dan beberapa pasukan yanisari.
Pada Mei 1518, Spanyol menyerang Tlemcen—sekitar 500 km arah barat Aljir. Oruc gugur dalam pertempuran di sana. Sepeninggalannya, Hayreddin mengambil alih komando atas pasukan untuk melawan aliansi Spanyol. Setelah berjuang sekian lama, akhirnya pada 29 Mei 1529 Aljir dapat direbut kembali oleh corsair Muslim ini.