PBB Temukan Bukti Kejahatan Militer di Myanmar

Tim telah mengumpulkan lebih dari 1,5 juta item bukti yang sedang dianalisis.

EPA/STRINGER
Para pengunjuk rasa memberi hormat tiga jari saat mereka membawa bendera serikat mahasiswa selama protes terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 21 Mei 2021.
Rep: Dwina Agustin Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Kepala Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar, Nicholas Koumjian, menyatakan, bukti awal yang dikumpulkan sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari 2020 menunjukkan serangan yang meluas dan sistematis terhadap warga sipil. Hasil itu menunjukkan tindakan militer merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Badan PBB yang menyelidiki kejahatan di Myanmar telah menerima lebih dari 200 ribu komunikasi sejak penyitaan tentara. Koumijan dan tim telah mengumpulkan lebih dari 1,5 juta item bukti yang sedang dianalisis.
Baca Juga



"Sehingga suatu hari mereka yang paling bertanggung jawab atas kejahatan internasional yang serius di Myanmar akan dimintai pertanggungjawaban," ujar Koumjian.

Koumjian mengatakan, para penyelidik melihat pola kekerasan dengan tanggapan terukur oleh pasukan keamanan terhadap demonstrasi dalam enam minggu pertama atau lebih setelah pengambilalihan militer. Kemudian, terjadi peningkatan kekerasan. Selain itu, juga banyak lagi dengan metode yang lebih kejam digunakan untuk menekan para demonstran.

"Ini terjadi di tempat yang berbeda pada saat yang sama, menunjukkan kepada kami bahwa logis untuk menyimpulkan ini dari kebijakan pusat," kata Koumjian.

"Dan kami melihat kelompok-kelompok tertentu menjadi sasaran, terutama untuk penangkapan dan penahanan yang tampaknya tanpa proses hukum. Dan ini termasuk, tentu saja, jurnalis, pekerja medis, dan lawan politik," ujarnya.

Koumjian mengatakan, timnya telah mengumpulkan bukti dari berbagai sumber termasuk individu, organisasi, bisnis dan pemerintah. Bukti termasuk foto, video, kesaksian dan posting media sosial yang mungkin relevan untuk menunjukkan bahwa kejahatan terjadi dan siapa yang bertanggung jawab untuk kejahatan itu.

"Kami mulai terlibat dengan Facebook segera setelah kami buat pada 2019 dan mereka telah bertemu dengan kami secara teratur. Kami telah menerima beberapa, tetapi tentu tidak semua, yang kami minta. Kami terus bernegosiasi dengan mereka dan sebenarnya, saya berharap kami akan menerima lebih banyak informasi," kata Koumjian.


Myanmar selama 50 tahun telah mendekam di bawah pemerintahan militer yang ketat yang menyebabkan isolasi dan sanksi internasional. Ketika para jenderal melonggarkan cengkeraman dengan kepemimpinan Aung San Suu Kyi dalam pemilihan 2015, komunitas internasional merespons dengan mencabut sebagian besar sanksi dan menuangkan investasi ke negara itu.

Kudeta 1 Februari mengikuti pemilihan pada November yang dimenangkan oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi. Militer menolak hasil pemilihan sebagai penipuan.

Sejak pengambilalihan militer, Myanmar telah dilanda kerusuhan, dengan demonstrasi damai terhadap jenderal yang berkuasa. Protes ini berubah menjadi pemberontakan bersenjata tingkat rendah di banyak daerah perkotaan.

Kondisi semakin memburuk setelah pasukan keamanan menggunakan kekuatan mematikan dan kemudian menjadi pertempuran yang lebih serius di daerah pedesaan. Daerah perbatasan dengan milisi etnis minoritas terlibat dalam bentrokan hebat dengan pasukan pemerintah.

Badan investigasi PBB didirikan oleh Dewan Hak Asasi Manusia yang berbasis di Jenewa pada September 2018. Badan ini memiliki mandat untuk mengumpulkan, mengonsolidasikan, melestarikan, dan menganalisis bukti kejahatan internasional paling serius dan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan di Myanmar.

"Yang kami lakukan hanyalah mengumpulkan bukti dari kekerasan yang paling buruk, semoga mengirim pesan kepada pelaku: 'Jika Anda melakukan ini, Anda menghadapi risiko bahwa Anda akan dimintai pertanggungjawaban,'" ujar Koumjian.

sumber : AP
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler