Timsel KPU-Bawaslu Diharap Penuhi Keterwakilan Perempuan

Timsel mengaku tak menggugurkan perempuan yang memenuhi syarat.

Pemilu (ilustrasi).
Rep: Mimi Kartika Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah berharap seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan. Dia mendorong tim seleksi (timsel) mengupayakan jumlah pendaftar perempuan yang lolos tahap administrasi mencapai minimal 30 persen.

"Kami berharap timsel bisa mengupayakan agar jumlah perempuan yang lolos di tahap seleksi administrasi minimal 30 persen dari total pendaftar," ujar Hurriyah dalam audiensi daring bersama timsel, Selasa (16/11).

Menurut dia, tahap seleksi administrasi adalah fase awal yang penting bagi mewujudkan keterwakilan perempuan pada lembaga penyelenggara pemilu. Dia menyebutkan, berdasarkan data per 15 November, pendaftar perempuan pada periode kali ini sekitar 26,4 persen.

Jumlah bakal calon penyelenggara pemilu perempuan berpotensi turun dalam tahap seleksi berikutnya, seperti tes tertulis dan tes wawancara. Dengan demikian, bisa saja hasil seleksi penyelenggara pemilu periode 2017-2022 akan terulang kembali, yakni hanya ada satu perempuan yang menjadi anggota KPU (dari tujuh anggota) maupun Bawaslu (dari lima anggota).

Hurriyah menjelaskan, keterlibatan perempuan dalam pemilu penting untuk kesetaraan akses bagi perempuan masuk ke lembaga negara maupun turut serta menyusun kebijakan publik. Untuk itu, dia juga mendorong timsel memberikan nilai tambah bagi pendaftar yang memiliki rekam jejak dalam aktivitas organisasi, tetapi minim pengalaman pemilu.

Dengan demikian, mereka yang belum pernah menjadi penyelenggara pemilu memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi calon anggota KPU-Bawaslu. Namun, menurut Hurriyah, sejauh ini masih terdapat sejumlah tantangan dalam keterlibatan perempuan pada proses seleksi penyelenggara pemilu.

Tantangan itu misalnya jaminan regulasi yang masih kurang, lemahnya dukungan politik, hingga perspektif gender yang masih belum merata. Puskapol UI mendorong revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu.

Perubahan yang dimaksud yakni mengganti klausul dari 'memperhatikan' menjadi 'menempatkan' keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Revisi ini sebagai bentuk konsistensi dalam rangka mendorong partisipasi perempuan di ranah politik. "Dalam mewujudkan pemilu yang inklusif, adil, dan setara," kata Hurriyah.

Di sisi lain, anggota timsel penyelenggara pemilu Endang Sulastri mengatakan, pihaknya tetap memperhatikan ketentuan syarat menjadi calon anggota KPU dan Bawaslu dalam memenuhi keterwakilan perempuan. Misalnya, ketentuan penyelenggara pemilu tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Aturan tersebut tentu tidak hanya ditujukan bagi laki-laki, melainkan berlaku juga untuk perempuan. Sementara, kata Endang, timsel bisa saja menoleransi terkait pengalaman kepemiluan kandidat perempuan, sepanjang yang bersangkutan memang memiliki pengetahuan tentang pemilu seperti yang disyaratkan UU.

"Yang jelas kita tidak akan menggugurkan perempuan yang memang sudah memenuhi syarat dengan baik," tutur Endang.

Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
 
Berita Terpopuler