MK Ingatkan Enam Opsi Model Pemilu Serentak
Untuk menentukan model pemilu serentak adalah wewenang pemerintah dan DPR.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan beberapa opsi model pemilu serentak melalui putusan nomor 55/PUU-XVIII/2019. Namun, MK menyatakan tidak berwenang menentukan model pemilu serentak, karena hal ini merupakan wewenang dari pembentuk Undang-Undang (UU), yakni pemerintah dan DPR.
"Dibutuhkan kerja sama dan sinergitas seluruh organ negara terkait penyelenggaraan pemilu seperti KPU, Bawaslu, DKPP, Kepolisian, Kejaksaan, pengadilan, MK, dan berbagai lembaga negara lainnya serta kalangan akademik dan mahasiswa," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam keterangan tertulisnya yang dikutip laman resmi MK, Senin (22/11).
Dalam pertimbangannya pada putusan nomor 55/PUU-XVIII/2019, MK memberikan opsi model pemilu serentak yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Pertama, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD.
Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Wali Kota. Ketiga, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Wali Kota.
Keempat, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Wali Kota.
Kelima, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi dan gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Wali Kota.
Keenam, pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Model pemilu serentak dalam putusan MK dimaksud merupakan opsi untuk menjaga keserentakkan pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden.
Di samping itu, Sekretaris Jenderal MK M Guntur Hamzah menjelaskan, pemerintah dan DPR yang menentukan model pemilu serentak dari berbagai aspek pertimbangan. Penentuan dilakukan dengan proses evaluasi terhadap pemilu serentak sebelumnya.
Opsi model pemilu serentak yang diberikan MK dapat menjadi pedoman maupun petunjuk bagi penyelenggara pemilu, baik KPU, Bawaslu maupun DKPP. Pemerintah dan DPR dapat menindaklanjuti putusan MK tersebut. Guntur juga menyinggung tenggang waktu penyelesaian perselisihan hasil pemilu serentak maupun pemilihan kepala daerah (pilkada). Prinsip dasar MK, satu hari pun tidak boleh lewat dari tenggang waktu yang sudah ditentukan undang-undang. "Kalau MK melewati tenggang waktu yang ditentukan, hal itu dianggap cacat," kata Guntur.
Pengalaman selama ini menunjukkan, MK mempunyai cara tersendiri menangani perkara pilkada. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi juga menjadi kunci dalam penyelesaian perkara di MK.
"Mau dikasih waktu 14 hari kerja, selesai. Dikasih waktu 30 hari kerja, selesai. Dikasih waktu 45 hari kerja, juga selesai. Kuncinya Mahkamah Konstitusi dapat menyelesaikan berbagai perkara dengan waktu yang telah diberikan, karena penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat masif. Sehingga semua distribusi dokumen-dokumen yang sudah ada, langsung kami scan yang memudahkan semua jajaran di Mahkamah Konstitusi," jelas Guntur.