'Tanpa Opium Taliban tak Dapat Mendanai Perang'

Afghanistan menyumbang lebih dari 80 persen dari produksi global opium pada 2015-2020

EPA/Ghulamullah Habibi
Petani di Afghanistan mengekstrak opium mentah dari bunga poppy di Provinsi Nangarhar, Afghanistan 12 Mei 2020. Afghanistan menyumbang lebih dari 80 persen dari produksi global opium pada 2015-2020.
Rep: Dwina Agustin Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Pengumuman rencana Taliban untuk melarang produksi opium di Afghanistan tidak mengganggu pedagang yang sudah lama terjun di industri itu. Para pedagang opium optimistis bisnisnya akan tetap berjalan karena dibutuhkan juga oleh kelompok tersebut.

"Mereka tidak dapat mendanai perang mereka jika tidak ada opium,” kata pedagang opium bernama Ahmed Khan yang beroperasi di Baramcha, dekat perbatasan dengan Pakistan.

Khan telah berdagang obat itu selama seperempat abad dan yakin kelompok itu tidak mampu menghentikan perdagangan. "Akan ada reaksi dari petani opium, bandar narkoba, dan masyarakat jika Taliban melarang produksi opium. Taliban paling diuntungkan dari produksi opium selama 20 tahun," katanya dikutip dari The Guardian baru-baru ini.

Khan mengatakan dirinya menjual setidaknya 50 ton opium per tahun kepada pembeli di Baramcha. Kemudian penjual itu menyelundupkan obat itu ke provinsi Balochistan di barat daya Pakistan. Melintasi daerah pegunungan dan terjal, para penyelundup menuju barat ke Iran.

Afghanistan adalah produsen opium terbesar di dunia. Negara ini menyumbang lebih dari 80 persen dari produksi global antara 2015-2020. Industri ini pun menghasilkan jutaan dolar setiap tahun.

Menurut Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), diperkirakan 6.300 ton opium dipanen di Afghanistan tahun lalu, jumlah yang dapat menghasilkan hingga 290 ton heroin murni. Jumlah lahan yang diberikan untuk produksi opium meningkat lebih dari sepertiga antara 2019-2020, menjadi 224 ribu hektare.

Pada 2019, UNODC memiliki data Taliban dan aktor non-negara lainnya mengumpulkan hingga 113 juta dolar AS pajak opium. Pada 2017, yang mencatat rekor panen, hingga 350 juta dolar AS dikumpulkan.

Namun dalam konferensi pers pertama setelah Taliban berkuasa pada Agustus, juru bicara kelompok itu Zabihullah Mujahid mengumumkan produksi obat akan dihentikan. Menurutnya, mulai sekarang tidak ada yang akan terlibat dalam perdagangan heroin dan tidak ada yang bisa terlibat dalam penyelundupan narkoba.

Pengumuman itu membuat harga opium hampir dua kali lipat dari 55 ribu afghani untuk 4,5 kilogram menjadi 100 ribu afghani. "Namun sekarang para pedagang tahu itu tidak akan dilarang, harganya turun," kata Khan.

Khan memprediksi akan ada ledakan dalam perdagangan opium ketika Taliban kembali berkuasa. Bukan hanya Khan yang tidak percaya Taliban dapat atau akan melarang produksi. Dengan runtuhnya ekonomi dan kekeringan mendorong jutaan orang kelaparan, pejabat Taliban di selatan memperingatkan tidak ada alternatif yang layak bagi petani.

"Petani dihadapkan pada ancaman kekeringan yang membayangi. Lahan pertanian dan kebun sangat terpengaruh dan itu akan memaksa banyak petani menanam opium karena itu adalah satu-satunya sumber kehidupan,” ujar gubernur provinsi Helmand, tempat sebagian besar opium ditanam, Abdul Ahad.

Menurut Ahad, jika masyarakat internasional tidak menerima tuntutan Taliban dan tuntutan warga sipil, para petani akan kembali menanam opium karena mereka tidak punya pilihan lain. "Masyarakat internasional harus membantu membuat bendungan, menyediakan benih, dan membantu petani menanam tanaman lain," katanya.

Baca Juga


Upaya AS untuk menghentikan perdagangan opium menghabiskan delapan miliar dolar AS selama 15 tahun untuk menghancurkan tanaman dan laboratorium. Upaya ini pun nyatanya hanya membuat sedikit kemajuan. Padahal pemimpin Taliban sebelumnya, Mullah Omar, secara resmi melarang penanaman dan perdagangan opium pada tahun 2000 tapi perdagangan terus berlanjut.

Taliban bersumpah berencana untuk menindak perdagangan obat-obatan terlarang. Akan tetapi sejauh ini tidak ada yang berubah bagi petani ganja seperti Ghulam Ali, yang tanamannya berdiri tegak di atas lahan seluas tiga hektare di luar Kandahar.

Perkebunan ini terletak di jalan utama melalui distrik Panjwai, timur laut kota, tanaman hijau gelapnya dapat dikenali dari baunya yang menyengat. “Kami mendapat manfaat lebih dari tanaman atau buah lainnya,” kata Ali.

"Saya memiliki pilihan untuk menanam hal lain, tetapi opium membutuhkan lebih banyak investasi, lebih banyak bahan kimia untuk melindungi tanaman dari penyakit," ujarnya.

Pada masa pemerintah Afghanistan dengan dukungan Amerika Serikat (AS) sebelumnya, petani ganja membayar pejabat lokal retribusi 3.000 rupee Pakistan per kilo. "Itu tidak resmi, hanya pajak yang harus kami bayar. Kalau tidak mereka bisa menghancurkan perkebunan kami,” kata Ali.

Keluarga Ali mengubah ladang jagung menjadi ganja pada tahun 2000, tepat sebelum berakhirnya rezim Taliban sebelumnya. Dia tidak memiliki alasan untuk menyesalinya.

Sekitar 20 kerabat tinggal di tanah pertanian yang terbuat dari batu bata lumpur. Mereka tidak kaya, tetapi anak-anak bersekolah dan hidup nyaman menurut standar perdesaan Afghanistan.

Pada waktu sibuk, mereka mempekerjakan pekerja luar untuk membantu membawa hasil panen. Bulan depan, tanaman akan diayak, ditekan, dan dipanaskan untuk mengekstrak minyak, yang kemudian diubah menjadi pasta ganja hitam-hijau untuk dijual dan diekspor.

Olahan itu dijual kepada pedagang dengan harga antara 10 ribu dan 12 ribu rupee per kilo. Ali tahu para penyelundup akan menjualnya dengan harga dua kali lipat di Iran, Pakistan, atau India tapi dia berharap mendapat untung 3.000 rupee per kilo.

Namun Taliban mencoba memperketat aturan untuk menjaga peredaran narkoba di Afghanistan. Gubernur Kandahar di bawah kepemimpinan Taliban, Yussef Wafa, mengatakan anak buahnya telah menangkap 1.000 pecandu dalam sebulan terakhir.

"Kami mencoba untuk mengalahkan poppy dan hashish dan kami mencoba untuk menjaga orang-orang dari penjual, penyelundup. Dan kami tidak akan membiarkan para petani menanamnya," kata Wafa dalam sebuah wawancara.

sumber : The Guardian/Al Arabiya
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler