Kapan Waktu yang Baik Melaksanakan Aqiqah?
Syariat Islam menetapkan ada batasan waktu dalam menjalankan perintah aqiqah.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imas Damayanti, Agung Sasongko
JAKARTA -- Syariat Islam menetapkan ada batasan waktu dalam menjalankan perintah aqiqah. Batasan ini berlandaskan beberapa hadits Nabi Muhammad SAW.
Imam Rasjidi dalam buku Panduan Kehamilan Muslimah menjabarkan terdapat waktu-waktu tertentu yang baik dalam melaksanakan aqiqah. Berikut adalah waktu-waktunya:
Pertama, pelaksanaan akikah adalah tujuh hari dari kelahiran bayi. Namun jika dilaksanakan sebelum hari itu juga diperbolehkan. Ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim.
Kedua, pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut beliau, pelaksanaan aqiqah terjadi pada hari ketujuh. Jika tidak bisa dilakukan pada hari itu, maka dilakukan pada hari ke-14 usia bayi. Jika tidak bisa juga di hari itu, dilakukan pada hari ke-21.
Namun, bagi Sayyid Sabiq, tanggal 20 diganti dengan tanggal 21. Bahkan beliau menambahkan jika tidak juga dilaksanakan pada hari itu karena faktor ekonomi, maka boleh dilakukan pada hari ke berapapun.
Ketiga, ada juga ulama yang berpendapat bahwa jika dalam waktu-waktu tersebut akikah tidak dapat dilakukan maka aqiqah dapat dilakukan pada hari apapun.
Keempat, pendapat yang datang dari Ibnu Hajar. Menurut beliau, aqiqah hanya dilakukan pada hari ketujuh dari hari kelahiran bayi. Jika pada hari itu tidak dilaksanakan, sudah tidak ada aqiqah lagi baginya.
Aqiqah dalam istilah agama berarti penyembelihan hewan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas anugerahnya, dengan niat dan syarat-syarat tertentu. Oleh sebagian ulama, akikah disebut dengan nasikah atau dzabihah, yaitu binatang yang disembelih.
Tradisi ini biasanya digelar dan dianjurkan pada hari ketujuh, ke-14, ke-20, atau hari kapan saja saat keluarga merasa sudah siap (mampu). Kemudian, daging aqiqah itu disedekahkan kepada fakir miskin, sebagaimana halnya daging kurban.
Kendati tidak banyak literatur yang menyebutkan, kemungkinan tradisi aqiqah ini berakar dari sejarah kurban Nabi Ibrahim AS. Syariat aqiqah sendiri telah dikenal dan biasa dilakukan orang sejak zaman jahiliyah, namun dengan cara yang berbeda dengan yang dituntunkan oleh Nabi SAW kepada umat Islam.
Baca juga : Menag Jajaki Kerja Sama Pencetakan Alquran di Madinah
Sejumlah riwayat menyebutkan, tradisi aqiqah sebenarnya juga berlangsung pada masa jahiliyah. Mereka melakukan hal itu untuk anaknya yang baru lahir, terutama anak laki-laki. Cara yang mereka lakukan adalah dengan menyembelih kambing, lalu darahnya diambil dilumuri ke kepala sang bayi.
Dahulu kami di masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu. Maka, setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur (menggundul) kepala si bayi, dan melumurinya dengan minyak wangi. (HR Abu Dawud dari Buraidah).
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum aqiqah. Perbedaan pendapat ini muncul disebabkan adanya perbedaan pemahaman terhadap hadits yang berkenaan dengan masalah ini. Hukum aqiqah ada yang menyatakan wajib dan ada pula yang menyatakan sunah muakkadah (sangat utama).
Ulama Zahiriyah berpendapat hukum melaksanakan aqiqah adalah wajib bagi orang yang menanggung nafkah si anak, maksudnya orang tua bayi. Mereka mengambil dasar hukumnya dari hadis Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi.
Anak yang baru lahir itu tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari hari kelahirannya, dan pada hari itu juga hendaklah dicukur rambutnya dan diberi nama. (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Baca juga : Peziarah Kini Dapat Melakukan Umrah Beberapa Kali
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, aqiqah hukumnya sunah muakkadah. Demikian pendapat Imam Malik, ulama Madinah, Imam Syafii serta para pengikutnya, Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Saur, dan segolongan besar ahli fikih dan mujtahid (ahli ijtihad).
Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi SAW, Barang siapa di antara kamu ingin bersedekah buat anaknya, bolehlah ia berbuat. (HR Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai).
Sementara itu, para fukaha (ahli fikih) pengikut Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat aqiqah tidak wajib dan tidak pula sunah, melainkan termasuk ibadah tatawwu' (sukarela). Pendapat ini dilandaskan kepada hadis Nabi SAW: Aku tidak suka sembelih-sembelihan (akikah). Akan tetapi, barang siapa dianugerahi seorang anak, lalu dia hendak menyembelih hewan untuk anaknya itu, dia dipersilakan melakukannya (HR al-Baihaki).
Lantas hewan apakah yang lebih utama untuk dijadikan aqiqah? Mayoritas ulama sepakat, hewan yang diperbolehkan untuk aqiqah antara lain unta, sapi, dan kambing. Namun demikian, para ulama saling berselisih pendapat mengenai hewan mana yang lebih utama untuk aqiqah.
Imam Rasjidi menjabarkan mengenai perbedaan pendapat ulama mengenai keutamaan tiga hewan tersebut. Imam Malik berpendapat, hewan yang lebih utama untuk aqiqah adalah domba karena dagingnya lebih bagus dan lebih lezat.
Setelah itu, kedudukan keutamaannya adalah sapi kemudian unta. Sedangkan menurut Imam Syafii dan Imam Ahmad, di antara tiga hewan itu yang lebih utama untuk aqiqah adalah unta, sapi, dan terakhir adalah kambing.
Dari perbedaan pendapat itu, dapat dikompromikan jenis hewan yang disembelih disesuaikan dengan kondisi ekonomi orang yang hendak beraqiqah. Asalkan syarat-syarat hewan aqiqahnya terpenuhi.
Antara lain, tidak juling, tidak pincang, tidak berpenyakit, tidak gila, tidak kurus, tidak pecah tanduknya, tidak berkudis, dan hewan tidak terpotong telinga dan pahanya. Karena akikah merupakan salah satu bentuk ibadah yang ditekankan sehingga hewan yang disembelih haruslah memilih kriteria yang bagus.