Soal Hukuman Kebiri untuk Pemerkosa Santriwati, Ini Kata Kemenkes
Kemenkes mengatakan hukuman kebiri kimia pelaku pemerkosaan kewenangan penegak hukum
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak mau banyak berkomentar mengenai kemungkinan pelaksanaan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual. Pemangku kebijakan kebiri kimia bukanlah di tangan Kemenkes, melainkan aparat hukum.
"Yang pasti bukan kewenangan Kemenkes melainkan aparat hukum sebagai regulator atau pembuat kebijakan," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (10/12).
Terkait efek samping pelaksanaan kebiri kimia, Nadia tak mau berkomentar. Menurutnya, hal itu bisa ditanyakan ke ahli seksologi.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Dokter spesialis Andrologi Indonesia (Persandi) Wimpie Pangkahila menjelaskan, sebenarnya undang-undang mengenai kebiri kimia sudah ada, tinggal aturan pelaksanaannya.
"Setelah dihukum penjara, dikenakan hukuman kebiri kimia. Tujuannya menghilangkan gairah seks dan kemampuan ereksinya, tetapi tentu ada efek samping lainnya," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (10/12).
Wimpie menyebutkan, efek samping kebiri kimia di antaranya bisa bertambah gemuk, otot berkurang, tulang keropos, anemia, perasaan labil, cemas, hingga daya ingat terganggu. Terkait lama dampak, ia menambahkan, dampaknya tergantung berapa lama kebiri kimia diberikan.
Ia menyebutkan, sudah ada beberapa negara yang memberlakukan hukuman itu. Negara tersebut di antaranya Pakistan, Cekoslovakia, Amerika Serikat (AS), Ukraina, Nigeria, hingga Korea Selatan.
"Bahkan Ceko telah memberlakukan operasi," kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Seksologi Indonesia (ASI) tersebut.
Sebelumnya, Guru pesantren berinisial HW (36 tahun) yang memerkosa 12 santriwati hingga hamil dan melahirkan, terancam hukuman kebiri. Tuntutan hukuman kebiri masih didalami pihak kejaksaan.
"Kami kaji dari hasil persidangan dan sebagainya. Karena hukuman ini pemberatan, sehingga kami kaji lebih lanjut," kata Pelaksana tugas Aspidum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Riyono, saat dikonfirmasi, Kamis, (9/12).
HW didakwa dengan dakwaan primer Pasal 81 ayat (1) ayat (3) jo Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Kemudian, dakwaan subsider Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Ancaman pidana 15 tahun, tapi perlu digarisbawahi ada pemberatan karena dia sebagai tenaga pendidik. Sehingga, hukumannya menjadi 20 tahun," ujarnya.