AS Tuding Rusia Rencanakan Provokasi untuk Serang Ukraina

AS dan Rusia gelar pembicaraan tentang perbatasan Ukraina

Reuters
Bendera AS dan Rusia
Rep: Kamran Dikarma Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Pemerintah Amerika Serikat (AS) menuding Rusia sedang merencanakan tindakan provokasi dengan maksud menciptakan dalih untuk menyerang Ukraina. Tuduhan itu dilayangkan setelah Washington dan Moskow menjalin pembicaraan tentang ketegangan di perbatasan Ukraina awal pekan ini.

Baca Juga


“Rusia telah memposisikan sekelompok operasi untuk melakukan apa yang kami sebut operasi ‘bendera palsu’, operasi yang dirancang agar terlihat seperti serangan terhadap mereka atau orang-orang berbahasa Rusia di Ukraina sebagai alasan untuk masuk,” kata juru bicara Pentagon John Kirby, dikutip BBC, Sabtu (15/1).

Operasi-operasi itu dilatih dalam perang perkotaan dan menggunakan bahan peledak untuk melakukan tindakan sabotasi terhadap pemberontak pro-Rusia. Kementerian Pertahanan Ukraina mengatakan tindakan serupa sedang dipersiapkan terhadap pasukan Rusia yang ditempatkan di wilayah Transdnistria yang memisahkan diri di Moldova.

Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov telah membantah tuduhan tersebut. Dia menyebut tudingan itu tak berdasar dan tidak dikonfirmasi oleh siapa pun. Pada Jumat (14/1) lalu, Ukraina menuding Rusia sebagai dalang di balik aksi peretasan situs-situs web pemerintahannya.

Situs web kementerian luar negeri, kabinet menteri, kebijakan agraria, dewan keamanan dan pertahanan, serta kementerian pendidikan Ukraina menjadi target peretasan pada Kamis (13/1) malam. Sejumlah situs kemudian mengalami disfungsi. “Akibat serangan global pada malam 13-14 Januari 2022, situs resmi Kementerian Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (Ukraina) untuk sementara tidak aktif,” kata kementerian itu di lawan Facebook-nya.

Di beberapa situs web terdapat teks dalam tiga bahasa, yakni Ukraina, Polandia, dan Rusia. Terpampang kata-kata bahwa semua data Ukraina yang diunggah ke jaringan telah menjadi publik.

Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Dia dimakzulkan setelah gelombang demonstrasi berlangsung tanpa henti selama tiga bulan. Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.  

Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea.

Baca: Ukraina Jadi Sasaran Peretas, NATO Gandeng untuk Pertahanan Siber 

Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana. Hingga kini, ketegangan masih terjadi di wilayah tersebut.

Baca: Korea Selatan Longgarkan Pembatasan Covid-19

Baca: Gunung Bawah Laut Tonga Meletus, Jepang Hingga Kanada Terbitkan Peringatan Tsunami

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler