Memburuknya Sikap Ekstremis Hindu Terhadap Muslim dan Diamnya India
Perlakuan diskriminatif fekstremis Hindu terhadap Muslim semakin menguat di India
REPUBLIKA.CO.ID, DELHI – Pada sebuah konferensi di India bulan lalu, seorang ekstremis Hindu meminta para pendukungnya untuk membunuh Muslim dan "melindungi" negara.
"Jika 100 dari kita menjadi tentara dan siap untuk membunuh 2 juta (Muslim), maka kita akan menang, lindungi India dan menjadikannya negara Hindu," kata anggota senior sayap kanan Partai Politik Hindu Mahasabha, Pooja Shakun Pandey, menurut video acara yang tersebar di media sosial.
Kata-kata dan seruannya untuk melakukan kekerasan kepada para pemimpin agama lain disambut dengan tepuk tangan meriah dari peserta yang datang. Berdasarkan video yang beredar, kegiatan ini disebut berjalan selama tiga hari di kota Haridwar, India utara.
Akibatnya, orang-orang di seluruh India meradang. Hampir sebulan berlalu, banyak yang masih emosi karena kurangnya tanggapan pemerintah atau penangkapan atas komentar tersebut. Mereka lantas menyoroti iklim yang memburuk bagi umat Islam di negara itu.
Setelah tekanan yang meningkat, pengadilan tinggi (PT) India melakukan intervensi pada Rabu (12/1) lalu, meminta tanggapan dari otoritas negara bagian dan federal dalam waktu 10 hari.
Pandey dan beberapa orang lainnya sedang diselidiki oleh polisi setempat karena tuduhan menghina keyakinan agama. Pejabat polisi Haridwar menyebut tuduhan ini membawa kemungkinan hukuman hingga empat tahun penjara. Baik Pandey, maupun yang lain, belum secara terbuka berkomentar tentang protes atau penyelidikan tersebut.
Pejabat senior Polisi Haridwar, Shekhar Suyal, menyebut polisi di negara bagian Uttarakhand, tempat Haridwar berada, telah menangkap seorang pria yang berbicara di acara tersebut, sehari setelah PT India mengeluarkan somasi.
Masih tidak jelas apa yang dikatakan pria itu di acara tersebut. Sementara polisi belum secara resmi mendakwa siapa pun dengan kejahatan apa pun. CNN telah mencoba menghubungi Kementerian Urusan Minoritas India, Hindu Mahasabha dan Pandey, tetapi belum menerima tanggapan
Seorang analis mengatakan, Hindu Mahasabha berada di ujung tren yang lebih luas di India, melihat peningkatan yang mengkhawatirkan dalam dukungan untuk kelompok nasionalis Hindu ekstremis, sejak Perdana Menteri Narendra Modi berkuasa hampir delapan tahun lalu.
Meskipun kelompok-kelompok ini tidak secara langsung terkait dengan Partai Bharatiya Janata (BJP) Modi, dengan agenda nasionalis Hindunya dan kurangnya reaksi atas komentar pedas kelompok-kelompok ini sebelumnya, kondisi ini telah memberi mereka dukungan diam-diam dan membuat mereka semakin berani, kata para analis.
Di sisi lain, analis mengkhawatirkan eskalasi kondisi ini menimbulkan bahaya serius bagi minoritas, terutama Muslim. Kondisi bisa bertambah buruk, mengingat beberapa negara bagian India menuju momen pemungutan suara dalam beberapa bulan mendatang.
"Apa yang membuat Mahasabha Hindu berbahaya adalah fakta mereka telah menunggu saat seperti ini dalam beberapa dekade," kata asisten profesor ilmu politik di Universitas Ashoka, Gilles Verniers, dikutip di CNN, Sabtu (15/1).
Didirikan pada 1907 selama pemerintahan Inggris pada saat konflik yang berkembang antara Muslim dan Hindu di negara itu, Mahasabha Hindu adalah salah satu organisasi politik tertua di India.
Kelompok itu tidak mendukung pemerintahan Inggris, tetapi juga tidak mendukung gerakan kemerdekaan India yang dipimpin oleh Mohandas Karamchand Gandhi, yang sangat toleran terhadap Muslim. Bahkan sekarang, beberapa anggota kelompok memuja pembunuhnya, Nathuram Godse.
Menurut situs resmi kelompok itu, visi Hindu Mahasabha adalah mendeklarasikan India sebagai "Rumah Nasional Umat Hindu." Situs web tersebut mengatakan jika mereka berhasil mengambil alih kekuasaan, maka mereka tidak akan ragu untuk "memaksa" migrasi Muslim India ke negara tetangga Pakistan, serta berjanji mereformasi sistem pendidikan negara itu untuk menyelaraskannya dengan versi Hinduisme mereka.
Dengan kampanye dan ideologinya yang kontroversial, Hindu Mahasabha selalu menjadi kekuatan politik marjinal. Terakhir kali kelompok itu hadir di Parlemen adalah pada 1991.
Dalam delapan tahun terakhir sejak Modi berkuasa, Vernier menyebut mereka tampaknya telah berkembang dalam jumlah dan pengaruh, berdasarkan ukuran dan frekuensi pertemuan mereka. Kelompok itu tidak secara terbuka mengungkapkan berapa banyak anggota yang dimilikinya, namun ia meyakini jumlahnya mencapai puluhan ribu.
Hindu Mahasabha menargetkan komunitas pedesaan di negara bagian utara, di mana terdapat kehadiran BJP yang besar. Mereka mendorong masyarakat sekitar memilih partai yang sejalan dengan ideologi nasionalis Hindu mereka, termasuk BJP Modi.
Pada 2015, Sadhvi Deva Thakur, yang saat itu menjadi anggota senior kelompok tersebut, menimbulkan kontroversi luas ketika mengatakan Muslim dan Kristen harus menjalani sterilisasi paksa, untuk mengendalikan pertumbuhan populasi mereka.
Hindu Mahasabha bukan satu-satunya kelompok nasionalis Hindu sayap kanan yang mendukung sentimen kekerasan terhadap kaum liberal dan minoritas, termasuk 200 juta Muslim India yang merupakan 15 persen dari 1,3 miliar penduduk negara itu.
Pada konferensi bulan lalu, beberapa pembicara menyerukan umat Hindu India untuk "membela" agama dengan senjata. Yang lain menyerukan "pembersihan" minoritas India, menurut video dari acara tersebut.
Namun menurut Verniers, Hindu Mahasbha adalah salah satu kelompok politik sayap kanan terbesar yang bertujuan menjadikan India tanah umat Hindu. Meski kampanye dan ide grup sudah berumur puluhan tahun, mereka sekarang lebih berani membicarakannya.
Menurut para ahli, alasan kelompok-kelompok ekstremis ini semakin tampak dan meningkat jelas karena mereka memiliki kekebalan hukum dan dukungan.
India melarang ujaran kebencian di bawah beberapa bagian dari hukum pidananya, termasuk bagian yang mengkriminalisasi "tindakan yang disengaja dan jahat" yang dimaksudkan untuk menghina keyakinan agama. Menurut pengacara Vrinda Grover, setiap kelompok yang menghasut kekerasan dilarang di bawah hukum India.
"Polisi, negara bagian dan pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan kegiatan menghasut kekerasan tidak terjadi. Tetapi negara, melalui kelambanannya, sebenarnya membiarkan kelompok-kelompok ini berfungsi, sambil membahayakan Muslim yang menjadi sasarannya," ujar Grover.
Kata-kata kasar Pandey dan beberapa seruan lain yang mendukung kekerasan, menurut Verneirs adalah bentuk pidato kebencian yang terburuk. Kejadian itu merupakan kali pertama istilah 'genosida' digunakan dalam politik India. "Mereka diam-diam mendapat dukungan, dalam bentuk sikap diam pemerintah," ucapnya.
Modi disebut juga memiliki agenda nasionalis Hindu. Ia berkuasa di India pada 2014 dan menjanjikan reformasi dan pembangunan ekonomi bagi negara tersebut.
Tetapi, mulai dari masa jabatan pertamanya sebagai Perdana Menteri, kelompok minoritas dan analis mengatakan mereka mulai melihat perubahan signifikan dalam ideologi India dari negara sekuler menjadi negara nasionalis Hindu.
BJP berakar pada Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), kelompok sayap kanan-Hindu yang menganggap Modi sebagai salah satu anggotanya. Banyak anggota RSS adalah penganut ideologi Hindutva yang diajarkan oleh Mahasabha Hindu, menjadikan India tanah umat Hindu.
Pada 2018, Menteri Dalam Negeri India Amit Shah mengatakan imigran Muslim dan pencari suaka dari Bangladesh adalah "rayap" dan berjanji untuk membersihkan bangsa dari mereka.
Antara 2015 dan 2018, kelompok main hakim sendiri membunuh puluhan orang, banyak di antaranya adalah Muslim, karena diduga memakan atau membunuh sapi, hewan yang dianggap suci oleh umat Hindu, menurut laporan dari Human Rights Watch.
Modi secara terbuka mengutuk beberapa pembunuhan, tetapi kekerasan tetap berlanjut. Pada 2017, pemerintah berusaha melarang penjualan dan penyembelihan sapi yang saat ini ilegal di beberapa negara bagian India, secara nasional.
Human Rights Watch mengatakan, banyak dari pembunuhan yang dituduhkan tidak dihukum sebagian karena penyelidikan polisi yang tertunda dan "retorika" dari politisi partai yang berkuasa, yang mungkin telah memicu kekerasan massa.
Pada 2019, Parlemen India meloloskan undang-undang yang akan memberi imigran dari tiga negara tetangga jalur menuju kewarganegaraan, kecuali untuk Muslim. Hal ini menyebabkan protes yang panjang dan kecaman internasional.
Pada Desember 2020, Uttar Pradesh memberlakukan undang-undang anti-konversi yang kontroversial, mempersulit pasangan beda agama untuk menikah atau bagi orang untuk masuk Islam atau Kristen.
Seorang aktivis hak-hak perempuan dan salah satu pendiri kelompok Muslim Bharatiya Muslim Mahila Andolan, Zakia Soman, mengatakan kegagalan pemerintahan telah memunculkan lebih banyak ekstremis sayap kanan.
"Komunitas kita menyadari kita telah menjadi warga negara kelas dua di negara kita sendiri. Pemukulan dan kebencian terhadap minoritas menjadi biasa dan normal. Saat intensitas meningkat, racun dan kekerasan dalam bahasa mereka juga meningkat," ujar dia.
Seorang mahasiswa Muslim berusia 21 tahun di Delhi, yang memilih untuk tetap anonim karena takut akan serangan balasan dari kelompok sayap kanan, mengatakan Muslim dipenuhi dengan "rasa takut" setiap kali kelompok Hindu sayap kanan membuat komentar kebencian. "Ini memberi kami perasaan bahwa kami tidak pantas berada di sini," katanya.
Terlepas dari penyelidikan polisi dan kemarahan publik, tindakan hukum terhadap mereka yang berbicara dan hadir pada acara Desember berjalan lambat. Dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada Modi, mahasiswa dan fakultas Institut Manajemen India yang bergengsi di Bangalore dan Ahmedabad mengatakan kebisuannya "meningkatkan" kebencian, menambahkan "rasa takut" di antara kelompok-kelompok minoritas di India.
Beberapa ahli setuju, diamnya pemerintah hanya membuat kelompok-kelompok ini semakin berani. "Ujaran kebencian mendahului kejahatan kebencian. Dan kita menyaksikan puncak kejahatan kebencian. Kelompok-kelompok ini dengan cepat menyebarkan racun ke seluruh masyarakat," ucap Grover.
BJP, yang jarang memberikan pernyataan tentang masalah ini, mengatakan tidak mendiskriminasi minoritas. Dalam sebuah pernyataan Maret lalu, mereka mengatakan memperlakukan semua warganya dengan kesetaraan dan hukum diterapkan tanpa diskriminasi.
Tetapi, para analis khawatir politik BJP yang memecah belah akan mengarah pada peningkatan kekerasan terhadap kelompok minoritas, menjelang pemilihan umum negara bagian yang penting tahun ini. Dan episode kekerasan yang dilaporkan terhadap Muslim telah meningkat menjelang pemilihan negara bagian tahun ini.
Sumber: CNN