KPPU: Ada Sinyal Ulah Kartel di Balik Kenaikan Harga Minyak Goreng

Pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh perusahaan besar yang punya kebun sawit

ANTARA/Nova Wahyudi
Karyawan menyusun minyak goreng kemasan yang dijual di salah satu minimarket di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (19/1/2022). Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menetapkan kebijakan satu harga minyak goreng kemasan premium ataupun sederhana yakni Rp14.000 per liter yang dijual di seluruh minimarket mulai Rabu (19/1/2022).
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan terdapat sinyal kartel dalam fenomena kenaikan harga minyak goreng dalam negeri saat ini. Meski begitu, KPPU menyampaikan perlu penyelidikan lebih lanjut untuk dapat membuktikan secara fakta adanya praktik tersebut.

Baca Juga


Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Ranamanggala, menjelaskan, berdasarkan olahan data KPPU, ada sejumlah produsen minyak goreng yang memiliki pangsa pasar tinggi. Terbesar memiliki pangsa 14 persen, 13,3 persen, 11 persen, 8,2 persen. Dari temuan itu, maka 46,5 persen rasio konsentrasi pangsa pasar dikuasai oleh empat perusahaan.  

"Dari temuan kami, pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar terbesar itu sebenarnya terintegrasi secara vertikal di mana dia bagian dari kelompok usaha perkebunan kelapa sawit," kata Mulyawan dalam konferensi pers, Kamis (20/1/2022).

Sementara itu, Komisioner KPPU, Ukay Karyadi, mengatakan, kenaikan harga minyak sawit (CPO) yang merupakan bahan baku minyak goreng memang murni akibat hukum pasar. Sebab, terdapat kenaikan permintaan global terhadap CPO sehingga tidak terdapat indikasi kartel dalam harga CPO.

Adapun sinyal kartel terdapat pada level produk turunan khususnya minyak goreng. Indikasi sinyal itu juga terlihat dari data yang menunjukkan mayoritas pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh perusahaan besar yang terintegrasi dengan produsen CPO.

Meskipun, merk minyak goreng yang beredar di pasar sangat beragam, jika ditelusuri berasal dari perusahaan yang sama. Ukay mengatakan, sruktur industri minyak goreng menunjukkan adanya oligopoli.

"Bagi pelaku usaha (CPO) sebetulnya lebih untung untuk ekspor. Tapi di sisi lain, dia punya pabrik minyak goreng yang kalau tidak disuplai bisa berhenti. Jadi yang paling aman dia menyamakan atau menaikkan harga CPO yang dijual ke pabrik minyak gorengnya sendiri," kata Ukay.

Dia menjelaskan, dengan pola itu, semestinya harga CPO untuk minyak goreng tidak serentak naik karena banyak perusahaan di Indonesia yang juga memiliki pangsa pasar besar. Di sisi lain, KPPU menilai saat ini pun tidak terdapat kenaikan biaya proses produksi.

"Ini bisa dimaknai sebagai sinyal kartel karena harga kompak naik, walaupun mereka (produsen) punya kebun sendiri-sendiri," ujarnya. 

Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyampaikan, meskipun Indonesia merupakan produsen terbesar CPO di dunia, sebagian besar perusahaan produsen minyak goreng dalam negeri tidak terintegrasi dengan produsen CPO. Lantaran entitas bisnis yang berbeda, para produsen minyak goreng harus membeli CPO sesuai harga pasar lelang dalam negeri yakni di KPBN Dumai.

Baca: Sampah Danau Singkarak Sulitkan Nelayan Mencari ikan

Sementara, harga lelang di KPBN Dumai juga berkorelasi dengan harga pasar internasional. "Dengan begitu harga produk minyak goreng yang dihasilkan akan sangat tergantung dari referensi harga di Lelang KBPN Dumai," kata Direktur Bahan Pokok dan Penting, Kemendag, Isy Karim.

Baca: Enam WNI di Tonga Selamat Pascaletusan Gunung Berapi dan Tsunami

Baca: Harga Minyak Goreng di Supermarket Cirebon Sudah Turun

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler