Pasien Long Covid Punya Antibodi Khusus yang Stabil
Antibodi khusus pasien 'long Covid' bisa melawan infeksi di dalam darah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada kemungkinan pasien Covid-19 bisa mengetahui apakah dirinya berisiko mengidap sindrom long Covid atau tidak. Sebuah studi berhasil mengungkap bahwa pasien long Covid punya tanda antibodi khusus.
Temuan yang diterbitkan di Nature Communications itu memaparkan sejumlah gejala umum dari long Covid. Pasien paling banyak melaporkan kelelahan, sesak napas, dan gangguan kognitif atau kabut otak.
Begitu pula kehilangan konsentrasi dan memori serta rasa sakit dan nyeri di beberapa area. Gejala lain termasuk sakit kepala, batuk, perubahan indra penciuman dan perasa, juga diare.
Long Covid merujuk pada pasien yang tidak lagi terinfeksi Covid-19 tetapi terus mengalami efek samping dan gejala dalam jangka panjang. Menurut prediksi, 10 sampai 30 persen pasien Covid-19 dapat mengalami sindrom itu.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan sindrom tersebut sebagai gejala yang bertahan selama setidaknya tiga bulan setelah pasien sembuh dari Covid-19. Dengan catatan, tidak ditemukan diagnosis alternatif.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) mendefinisikannya secara lebih umum. Long Covid disebut sebagai kondisi setelah Covid-19 yang bertahan selama empat pekan atau lebih.
Menurut studi baru yang digagas tim periset dari Swiss, long Covid diartikan sebagai persistensi satu gejala atau lebih terkait Covid-19. Pedoman waktunya yakni lebih dari empat pekan setelah dimulainya gejala.
Tim mengevaluasi riwayat medis 175 pasien yang didiagnosis Covid-19 dan membandingkannya dengan 40 pasien sehat selama satu tahun. Hasilnya, 82,2 persen pasien dengan infeksi parah mengidap long Covid, dan ada 53,9 persen pasien dengan infeksi ringan juga mengidapnya.
Para peneliti menemukan pasien yang mengidap long Covid memiliki tingkat antibodi IgM dan IgG3 yang lebih rendah. Antibodi tersebut membantu melawan infeksi dalam aliran darah.
Respons antibodi itu dianggap sebagai penanda imunoglobulin. Tidak seperti penanda inflamasi yang hanya meningkat sementara di awal perjalanan penyakit, antibodi itu terdeteksi stabil dari waktu ke waktu, menjadikannya biomarker yang menarik.
Ketika penanda dikombinasikan dengan usia peserta, riwayat medis, dan lima gejala tertentu selama infeksi primer, para peneliti bisa memprediksi risiko long Covid. Tingkat efektivitasnya mencapai 75 persen, terlepas dari waktu pengambilan sampel darah pasien.
"Kami ingin dapat mengenali dan mengidentifikasi sedini mungkin siapa yang berisiko terkena long Covid," kata salah satu penulis studi, Onur Boyman, peneliti di Departemen Imunologi University Hospital Zurich.
Penelitian dilakukan antara April 2020 dan Agustus 2021. Karena pada saat itu omicron belum terdeteksi, tidak diketahui apakah temuan berlaku untuk pasien sekarang, mengingat banyak kasus saat ini disebabkan omicron.
Dosen klinis senior di King's College London, Claire Steves, juga menyoroti bahwa penelitian tidak memperhitungkan status vaksinasi peserta. Batasan waktu long Covid dalam penelitian juga disebut kontras dengan konsensus internasional.
Meski demikian, penelitian bisa terus dikembangkan. "Model prediktif ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi orang yang berisiko lebih tinggi supaya mendaftar ke uji coba penelitian terkait terapi," ujar Steves, dikutip dari laman Fox News, Kamis (3/2/2022).