KemenPPPA Temui Kajari Jabar, Ini yang Dikatakannya 

Keputusan majelis makim yang membebankan restitusi kepada Kemen PPPA, tidak tepat.

REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santri Herry Wirawan berjalan keluar ruangan usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (15/2/2022). Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung menjatuhkan vonis pidana seumur hidup kepada Herry Wirawan atas kasus pemerkosaan 13 santriwati sekaligus diminta membayar restitusi (penggantian kerugian) kepada para korban sebesar Rp331 juta. Foto: Republika/Abdan Syakura
Rep: Rizky Suryarandika Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menemui Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat guna membahas putusan kasus Herry Wirawan. KemenPPPA memberikan sejumlah pertimbangan sebagai masukan bagi Kejati untuk mengajukan banding, khususnya terkait restitusi. 


Pertemuan itu dipimpin Kepala Kejaksaan Tinggi Jabar dan juga dihadiri Tim Pemprov Jabar, serta Atalia Ridwan Kamil selaku Ketua TP PKK Jabar. Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar mengatakan, pertemuan tersebut memiliki kesamaan pandangan untuk mempelajari putusan hakim terkait beban yang diberikan kepada Negara mencakup hak restitusi korban dan perawatan jangka panjang 9 anak korban. 

“Pada intinya, KemenPPPA menghormati putusan Majelis Hakim PN Bandung yang dalam amar putusannya menjatuhkan pidana penjara seumur hidup terhadap terdakwa,” kata Nahar dikutip dari keterangan pers, Ahad (20/2).

Namun, Nahar menyayangkan, Majelis Hakim dalam putusan tersebut membebankan restitusi kepada Kemen PPPA. Kemudian, Hakim menetapkan sembilan anak dari para korban agar diserahkan perawatannya kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

“Mempelajari putusan hakim terkait dengan beban yang diberikan kepada Negara mencakup hak restitusi korban, dirasa tidak tepat," ujar Nahar. 

Nahar mendalilkan argumentasinya pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020. Dalam aturan itu, restitusi adalah ganti kerugian kepada korban atau keluarga yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga, dalam hal ini adalah orang dekat atau keluarga atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaku yang bisa membayarkan. 

"Berdasarkan landasan kedua regulasi tersebut, maka membebankan restitusi kepada Negara, dalam hal ini Kemen PPPA, menjadi kurang tepat karena kejahatan dilakukan perorangan. Kemen PPPA merupakan pihak yang berkepentingan dari korban dan seyogyanya diposisikan sebagai pendamping dalam pemanfaatan dana restitusi yang diterima korban," ucap Nahar. 

Oleh karena itu, Nahar mengatakan, KemenPPPA menilai perlu melakukan klarifikasi karena dirasakan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Kemen PPPA mendorong agar Jaksa Penuntut Umum melakukan banding agar putusan hakim dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tanpa menghilangkan kehadiran Negara dalam melindungi dan memenuhi hak-hak anak korban,” kata Nahar. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
 
Berita Terpopuler