Harga Barang Naik, Kantor Staf Presiden Minta Masyarakat Kurangi Produk Impor

Ketidakpastian global memicul kenaikan harga berbagai barang pokok

REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Pekerja membawa gas elpiji nonsubsidi di salah satu agen LPG Nonsubsidi di Jalan Emong, Lengkong, Kota Bandung, Jumat (4/3/2022). Pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) kembali menaikkan harga elpiji nonsubsidi dari Rp13.500 menjadi Rp15.500 per kilogram sejak (27/2/2022). Di Kota Bandung, harga gas elpiji nonsubsidi ukuran 12 kilogram naik menjadi Rp192 ribu yang semula Rp163 ribu, sementara Bright Gas ukuran 5,5 kilogram naik menjadi Rp88 ribu yang semula Rp76 ribu. Foto: Republika/Abdan Syakura
Rep: Dessy Suciati Saputri Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan harga berbagai barang terindikasi mengalami kenaikan karena ketidakpastian ekonomi global. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Edy Priyono menegaskan, peringatan Presiden tersebut harus disikapi dengan bijak dan tidak perlu memunculkan kekhawatiran secara berlebihan.

Baca Juga


Kondisi tersebut, kata dia, harus dijadikan momentum untuk mulai menguatkan produksi dalam negeri dan mengurangi konsumsi barang-barang impor.

“Apa yang disampaikan bapak Presiden mengandung satu pesan kunci, yakni kita harus berani berubah dan berani mengubah,” kata Edy Priyono, dikutip dari siaran pers KSP, Ahad (6/3/2022).

Menurut Edy, ketidakpastian ekonomi global akibat pandemi Covid-19 berkepanjangan dan ditambah munculnya konflik Rusia-Ukraina, berimplikasi pada produksi dan konsumsi.

Di sisi konsumsi, masih ada ketergantungan terhadap barang-barang impor, seperti elpiji, kedelai, dan gandum yang menyebabkan terjadinya lonjakan harga. Dalam jangka pendek, ujar dia, pemerintah tidak punya banyak pilihan, yakni tetap mempertahankan harga agar tidak naik dan stabil dengan memberikan subsidi.

Ia mencontohkan LPG subsidi 3 kilogram yang porsi konsumsinya mencapai 93 persen. Meskipun tren harga kontrak Aramco (CPA) mengalami kenaikan sebesar 21 persen dari rata-rata CPA akibat konflik Rusia-Ukraina, tetapi pemerintah tidak menaikkan harga LPG subsidi dan tetap mengacu pada Harga Eceran Tertinggi (HET).

“Pemerintah memberikan subsidi sekitar Rp 11 ribu per kilogram sehingga masyarakat dapat membeli LPG subsidi 3 kilogram dengan harga yang terjangkau,” ujar Edy.

Namun ia mengingatkan, jika kondisi ini berlangsung lama, maka akan memberatkan keuangan negara. Karena itu, solusi jangka panjangnya yakni dengan mendorong produksi dalam negeri agar ketergantungan pada barang impor bisa dikurangi.

"Salah satunya dengan mendorong penggunaan DME yang bahan bakunya batu bara,” ujarnya.

Edy juga mengimbau agar masyarakat ikut andil dalam pengurangan konsumsi barang-barang kebutuhan impor, seperti gandum yang menjadi bahan baku roti dan mie. Ia menilai, sudah saatnya masyarakat bergeser ke produk karbohidrat lain, yang merupakan produk dalam negeri.

“Singkong, ubi, porang, itukan penghasil karbohidrat yang bisa kita hasilkan sendiri. Tentu tidak mudah mengubah pola konsumsi. Tapi kita mesti mengarah ke sana,” kata Edy.

Beberapa pekan terakhir sejumlah harga bahan pokok meningkat. Kenaikan dipicu oleh beberapa faktor seperti antisipasi tingginya permintaan, dan konflik Rusia-Ukraina yang menyebabkan harga komoditas global meningkat. Beberapa kebutuhan pokok yang mengalami kenaikan harga di antaranya elpiji nonSubsidi, BBM non subsidi, kedelai, dan daging sapi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler