Enam Skenario Jika Barat Larang Impor Minyak Rusia
Harga minyak dapat melonjak tinggi jika sanksi larangan impor dari Rusia diberlakukan
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) sedang mewacanakan penerapan larangan impor minyak dari Rusia. Washington berharap sekutu dapat mendukung dan mendorong sanksi terhadap Moskow tersebut.
Wacana itu telah menyebabkan harga minyak mentah Brent melonjak ke angka 140 dolar AS per barel, Selasa (8/3/2022). Angka itu merupakan yang tertinggi sejak 2008.
Rusia adalah pengekspor minyak mentah dan produk minyak terbesar di dunia. Ia memproduksi sekitar 7 juta barel per hari (bph) atau 7 persen dari pasokan global.
Berikut beberapa kemungkinan yang bakal terjadi jika sanksi berupa larangan impor minyak dari Rusia diterapkan.
Rekor Harga
JP Morgan memperkirakan, harga minyak dapat menyentuh angka 185 dolar AS per barel pada akhir 2022 jika gangguan terhadap ekspor Rusia berlangsung selama itu. Terakhir kali harga minyak berada di atas 100 dolar AS adalah pada 2014.
"Perang berkepanjangan yang menyebabkan gangguan luas pada pasokan komoditas dapat membuat Brent di atas 150 dolar per barel," kata analis komoditas di UBS, Giovanni Staunovo.
Kejutan Inflasi
Dengan harga gas alam menembus angka tertinggi sepanjang masa, melonjaknya biaya energi diperkirakan akan mendorong inflasi di atas 7 persen di kedua sisi Atlantik dalam beberapa bulan mendatang. Hal itu bakal berdampak keras pada daya beli rumah tangga.
Sebagai aturan praktis, setiap kenaikan 10 persen pada harga minyak dalam istilah euro, hal itu meningkatkan inflasi zona euro sebesar 0,1 hingga 0,2 poin persentase. Sejak 1 Januari, minyak mentah Brent naik sekitar 80 persen dalam euro. Di AS, setiap kenaikan harga minyak sebesar 10 dolar per barel, hal tersebut meningkatkan inflasi sebesar 0,2 poin persentase.
Selain menjadi pemasok utama minyak dan gas, Rusia juga merupakan eksportir biji-bijian dan pupuk terbesar di dunia. Moskow pun produsen utama paladium, nikel, batu bara, dan baja. Wacana mengucilkan Rusia dari sistem perdagangan akan memukul berbagai industri serta menambah kecemasan keamanan pangan global.
Pukulan Pertumbuhan
Pelarangan impor minyak Rusia akan semakin memperlambat pemulihan global dari pandemi Covid-19. Perhitungan awal oleh European Central Bank (ECB) menunjukkan, perang dapat memotong pertumbuhan zona euro sebesar 0,3 hingga 0,4 poin persentase tahun ini dalam skenario dasar dan 1 poin persentase jika terjadi guncangan parah.
Dalam beberapa bulan mendatang, ada risiko stagflasi yang tinggi atau pertumbuhan kecil hingga minimal ditambah inflasi tinggi. Namun selanjutnya, pertumbuhan zona euro kemungkinan akan tetap kuat, bahkan jika harga komoditas terbukti menjadi hambatan.
Di AS, The Fed memperkirakan, setiap kenaikan 10 dolar per barel pada harga minyak, memangkas pertumbuhan 0,1 poin persentase. Sementara di Rusia, dampak atau guncangannya kemungkinan lebih besar dan segera. JP Morgan memperkirakan, larangan impor minyak akan menyebabkan perekonomian Rusia berkontraksi sebesar 12,5 persen.
Dampak Bank Sentral
Untuk US Federal Reserve, dampak inflasi telah terbukti terlalu besar. Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengatakan, suku bunga perlu naik bulan ini, menambah tekanan pada pihak peminjam.
Bagi ECB, urgensi tindakan kebijakan tidak terlalu akut karena pasar tenaga kerja masih menikmati kapasitas cadangan serta hanya ada sedikit inflasi yang tumbuh di dalam negeri. "Tidak ada yang bisa secara serius mengharapkan ECB untuk mulai menormalkan kebijakan moneter pada saat ketidakpastian yang tinggi," ujar ekonom ING, Carsten Brzeski.
Substitusi
Dengan permintaan bahan bakar fosil yang pulih dari pandemi, tapi pasokan di seluruh dunia masih terbatas, para pembuat kebijakan akan berada di bawah tekanan untuk mendukung energi hijau. "Akan ada seruan kembali pada inisiatif hijau dalam jangka pendek guna membalikkan kontraksi yang telah kita lihat dalam pasokan bahan bakar fosil," kata analis investasi dan pasar di Hargreaves Lansdown, Susannah Streeter.
Pemandangan Panjang
Kebuntuan Rusia-Barat dapat mempererat hubungan Moskow dengan Beijing. Namun infrastruktur kedua negara masih sedikit. "Meskipun Pivot Rusia ke Timur telah mempercepat kerja sama gas dengan Cina melalui infrastruktur gas, semua perkembangan ini masih dalam tahap awal dibandingkan dengan pasar yang matang di Eropa," ujar analis di Verisk Maplecroft, Kaho Yu.
Energi terbarukan bisa mendapatkan dorongan dalam jangka menengah hingga panjang. Sebab negara-negara berusaha melepaskan diri dari ketergantungan pasokan energi Rusia.
"Kita harus mengambil subsidi yang sekarang kita curahkan untuk gas alam, batu bara, dan minyak bumi, serta memasukkannya ke dalam pembangkit energi terbarukan, mobilitas listrik, dan infrastruktur pengisian EV, pompa panas, peningkatan efisiensi gedung," kata Wolfgang Ketter, profesor di Rotterdam School of Management di Erasmus University.
"Apa pun yang akan mengarah pada ketahanan energi jangka panjang dengan mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil," ujar Ketter menambahkan.