Barat Minta Rusia tidak Rusak Rencana Akhir Kesepakatan Nuklir
Barat memperingatkan Rusia agar tidak merusak kesepakatan yang hampir selesai
REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Negara-negara Barat memperingatkan Rusia agar tidak merusak kesepakatan yang hampir selesai untuk membawa Amerika Serikat (AS) dan Iran kembali ke perjanjian nuklir 2015, Selasa (8/3/2022). Negosiator utama Iran Ali Bagheri Kani akan kembali ke Wina dari konsultasi di Teheran.
"Jendela peluang sedang ditutup. Kami menyerukan kepada semua pihak untuk membuat keputusan yang diperlukan untuk menutup kesepakatan ini sekarang, dan kepada Rusia untuk tidak menambahkan kondisi asing pada kesimpulannya," kata Inggris, Prancis, dan Jerman dalam pernyataan bersama kepada pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa yang beranggotakan 35 negara, Dewan Gubernur.
Pembicaraan 11 bulan untuk memulihkan kesepakatan yang mencabut sanksi terhadap Iran dengan imbalan pembatasan program nuklirnya telah mencapai tahap akhir. Namun mereka telah diperumit oleh permintaan menit terakhir dari Rusia untuk jaminan dari AS bahwa sanksi Barat yang menargetkan negaranya atas invasinya ke Ukraina tidak akan mempengaruhi bisnisnya dengan Iran.
Menurut seorang pejabat Iran dan Eropa, Kani dijadwalkan kembali ke Wina pada Rabu (9/3/2022), setelah secara tidak terduga kembali ke Teheran untuk konsultasi pada Senin (7/3/2022). Koordinator pembicaraan dari Uni Eropa Enrique Mora mengatakan pada Senin, waktunya telah tiba untuk mengambil keputusan politik untuk mengakhiri negosiasi.
"Kami sangat dekat dengan kesepakatan. Sangat penting kami menyimpulkan selagi kami masih bisa," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis Anne-Claire Legendre.
"Kami prihatin dengan risiko bahwa penundaan lebih lanjut dapat membebani kemungkinan untuk menyimpulkan," katanya.
Iran telah berusaha untuk menghapus semua sanksi dan menginginkan jaminan dari AS bahwa tidak akan meninggalkan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) sekali lagi. Sebelumnya di era kepemimpinan Presiden Donald Trump, AS keluar dari kesepakatan pada 2018 dan menerapkan kembali sanksi kepada Iran.
Para diplomat telah mengatakan sampai sekarang beberapa perbedaan masih perlu diatasi dalam pembicaraan, termasuk sejauh mana sanksi terhadap Iran, terutama para pengawal revolusioner elitnya. Dua pejabat Barat mengatakan sekarang ada teks akhir yang sudah dibahas dan masalah itu telah diselesaikan.
Moskow melemparkan syarat baru pada pekan lalu ketika berbulan-bulan pembicaraan tidak langsung antara Teheran dan Washington di Wina tampaknya menuju kesepakatan. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan sanksi Barat terhadap Rusia telah menjadi batu sandungan bagi kesepakatan nuklir.
Mora dari Uni Eropa dan perunding top Rusia Mikhail Ulyanov mengadakan pembicaraan di Wina pada Selasa malam. Ulyanov menyatakan, mereka bertukar pandangan tentang perkembangan saat ini dan jalan ke depan.
Baca juga : PM Swedia Tolak Desakan Bergabung dengan NATO
Perjanjian baru akan menyebabkan Rusia mengambil kelebihan uranium yang diperkaya untuk dibawa keluar dari Iran. Tindakan itu untuk membawa Teheran kembali sesuai dengan batas kesepakatan asli pada kemurnian dan jumlah uranium yang ditimbunnya.
Rosatom, sebuah perusahaan milik negara yang dibentuk oleh Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2007, adalah kunci untuk itu dan masih belum ditambahkan ke sanksi Barat. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengecilkan masalah tersebut selama kunjungan ke Estonia pada Selasa. Dia mengatakan Rusia dan AS masih memiliki keinginan untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir.