Dua Sisi Sistem Pangan dalam Perubahan Iklim Global

Perhatian pada sistem pangan akan menjadi solusi nyata mencegah kerusakan lingkungan.

dokpri
Perhatian yang tepat waktu pada sistem pangan akan menjadi solusi nyata mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap lingkungan. Foto Ilustrasi Petani,
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: dr. Agnes Mallipu (Country Representative for The Global Alliance for Improved Nutrition/GAIN Indonesia : gainhealth.org) dan Nana Firman (Senior Ambassador for Green Faith : greenfaith.org)

Kesepakatan para pemimpin dunia dalam Konferensi Para Pihak Ke-26 tentang Iklim atau COP26 di Glasgow, Skotlandia pada 13 November 2021 tidak menghasilkan satu pun resolusi yang berkaitan dengan pangan. Padahal di sesi pembahasan dalam konferensi iklim tahunan dunia tersebut justru banyak menyoroti persoalan pangan dan perubahan iklim dunia.

Pada Dialog Tingkat Menteri COP26 tentang strategi Adaptasi misalnya sengaja mengundang utusan khusus untuk KTT Sistem Pangan PBB, Dr. Agnes Kalibata untuk berbicara mengenai keterkaitan isu pangan dengan pemanasan global. Dia menyerukan pentingnya sistem pangan sebagai strategi adaptasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim global.

Agnes Kalibata memperingatkan dampak pemanasan global terhadap sistem pangan yang akan menambah 10 juta orang baru terjerat dalam kemiskinan ekstrem setiap tahunnya. Dia meyakini perhatian yang tepat waktu pada sistem pangan akan menjadi solusi nyata mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap lingkungan.

Sistem pangan memiliki dua sisi dalam perubahan iklim global. Membenahinya sama artinya dengan membantu menekan emisi gas rumah kaca (GRK). Di sisi lain, sistem pangan akan menjadi yang pertama terdampak jika dunia gagal menahan laju pemanasan global.

Ironisnya kesepakatan peta jalan di sektor pertanian (satu bagian saja dari sistem pangan) untuk menahan dampak GRK pada COP26 justru bukan menjadi perhatian para pemimpin dunia. Pembahasan mengenai isu pertanian justru di inisiasi sepuluh perusahaan multinasional terbesar untuk mendukung pengurangan tingkat deforestasi melalui peta jalan yang akan disampaikan dalam COP27 yang akan diselenggarakan di Mesir tahun ini.


Pangan yang Direduksi
Pangan kerap luput dilihat sebagai salah satu penyumbang utama pemanasan iklim global. Kontribusi pangan sebagai penyumbang emisi GRK sering tidak dilihat dalam satu sistem yang utuh. Pangan direduksi sebagai penyumbang emisi dari sisi produksi saja , yang umumnya pertanian. Padahal sistem pangan bukan hanya mengenai produksi, tapi juga bagaimana kita mendistribusikannya, mengonsumsinya, hingga membuang limbahnya. Perbedaan sudut pandang dalam menilai emisi GRK juga kerap sarat kepentingan.

Di tingkat global, ada beberapa riset menjadi rujukan dalam menggambarkan kontribusi sistem pangan sebagai penyumbang GRK. Pertama riset Poore & Nemecek yang dipublikasikan di Science tahun 2018 menyajikan pendekatan meta analisis data yang menyimpulkan kontribusi sistem pangan menyumbang 26 persen total GRK. Kedua, riset yang lebih baru yang dilakukan oleh Crippa, M., Solazzo, E., Guizzardi, D. et al. yang dipublikasikan di Nature Food tahun 2021 dengan mengembangkan basis data emisi global makanan atau EDGAR-FOOD yang menghasilkan perhitungan lebih besar, yakni sistem emisi pangan menyumbangkan 34 persen total emisi GRK.

Artikel Hannah Ritchie dalam Our World in Data (2021)  membandingkan dua riset tersebut. Poore & Nemecek menghitung sistem pangan menyumbang 13,6 miliar ton CO2, sementara Crippa dan rekanya memperkirakan emisinya sebesar 17,9 miliar ton CO2. Memang ada selisih 4 miliar ton pada dua riset tersebut, yang sesungguhnya berasal dari perbedaan perspektif masing-masing dalam memerinci sejauh mana membedah rantai pasok pangan, berikut pengelompokannya sebagai penyumbang emisi GRK. Poore & Nemecek misalnya menghitung sumbangan emisi GRK dalam pemanfaatan lahan sebesar 3,2 miliar ton, sementara Crippa dan kawan-kawannya 5,7 miliar ton. Perhitungan Crippa lebih besar karena mengelompokkan semua deforestasi global yang terjadi untuk pertanian, sementara Poore & Nemecek menghitungnya 60 persen.

Di Indonesia, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) melansir hasil penelitian yang menyebutkan sektor pertanian menyumbang 14 persen dari total emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia, di luar emisi dari penggunaan lahan. Sumber terbesar emisi di sektor pertanian adalah dari penanaman padi 40 persen, pengolahan tanah organik 21 persen, kotoran ternak 14 persen, dan pupuk sintetis 11 persen. Sektor pertanian merupakan sumber utama dari Emisi GRK yaitu Methane (CH4), Nitrous oxide (N2O), dan Carbon dioxide (CO2) (Susilawati & Setyanto, 2018).

Ketahanan Pangan
Presiden Joko Widodo saat berbicara di depan pemimpin dunia COP26 mengutarakan ambisi Indonesia untuk memberikan kontribusi lebih cepat dalam pencapaian target “net zero emission”. Indonesia juga meminta negara-negara maju untuk memberikan dukungan lebih besar demi percepatan pencapaian target tersebut.

Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia terbaru yang diserahkan dalam pertemuan COP26 menjabarkan secara garis besar strategi Indonesia yang mencanangkan komitmen menurunkan emisi GRK secara sukarela sebesar 26 persen dengan upaya sendiri, dan sampai dengan 41 persen dengan dukungan internasional.  Indonesia berfokus pada upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai konsep terintegrasi untuk membangun ketahanan sumber daya pangan, air, dan energi. Indonesia menerapkan pendekatan lanskap meliputi ekosistem daratan, pesisir, dan laut.

Strategi mitigasi Indonesia mengambil titik berat pada rencana aksi iklim untuk mengurangi emisi GRK dengan menyelesaikan persoalan alih fungsi lahan serta kebakaran hutan. Strategi adaptasi Indonesia berfokus pada pengurangan risiko bencana dan penerapan teknologi yang adaptif dengan bertransformasi menuju ekonomi rendah karbon untuk membangun ketahanan pangan, air, dan energi.

Pemerintah menyusun strategi ketahanan pangan dengan titik berat pada upaya mengantisipasi persoalan pangan akibat perubahan iklim. Sederet daftar aksi dipersiapkan, diantaranya dengan membangun pertanian dan perkebunan berkelanjutan, pengelolaan daerah aliran sungai yang terintegrasi, pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, pemanfaatan lahan terdegradasi untuk energi terbarukan, konservasi lahan, serta perbaikan efisiensi energi dan pola konsumsi.

Pangan, dalam hal ini dikerucutkan pada sektor pertanian semata, dalam hal ini dipandang sebagai objek. Pangan dilepaskan posisinya dalam konteks sebagai penyumbang emisi GRK.

Dokumen NDC tersebut memperlihatkan cara pandang Indonesia atas pangan. Pemerintah memandangnya dalam kerangka isu ketahanan, atau security issue, yang harus diamankan karena berpotensi memunculkan masalah baru. Tidak salah juga. Sebagian besar kebutuhan pangan Indonesia bergantung pada impor dari negara lain. Produksi beras yang gagal memenuhi kebutuhan konsumsi sehingga kerap dipasok lewat impor.

Sistem Pangan Sebagai Solusi
Bukan bermaksud menyederhanakan persoalan, ini hanya masalah sudut pandang. Andai pemerintah mau melihat pangan dalam sudut pandang sebagai sistem pangan, akan lebih banyak yang  bisa dilakukan. Ingat, sistem pangan punya dua sisi, yang berdampak dan terdampak menghadapi perubahan iklim global. Dalam kerangka ini strategi adaptasi seharusnya jangan berhenti pada upaya mitigasi dan penanganan perubahan iklim global, tapi menjangkau lebih jauh lagi pada sistem pangan.

Intervensi pada sistem pangan secara teoritis akan memberikan solusi nyata untuk mencegah kerusakan yang lebih buruk pada lingkungan, yang pada akhirnya akan mengurangi dampak perubahan iklim dunia. Di sisi lain, intervensi tersebut sekaligus memberikan ruang yang lebih luas untuk pengembangan pangan berkelanjutan yang pada ujungnya menjadi basis dari ketahanan pangan.

Banyak pendekatan kreatif yang bisa dilakukan dengan mengubah sudut pandang terhadap pangan menjadi satu kesatuan sistem pangan. Pertanian dan peternakan di lini produksi tidak bisa dipandang sebagai satu hal yang  parsial, namun harus dipandang sebagai satu  kesatuan dengan distribusi, konsumsi, hingga limbahnya. Hal yang sebenarnya sudah dilakukan dalam keseharian, dan sayangnya intervensi tersebut tidak pernah dikapitalisasi sebagai faktor penyumbang pengurangan emisi GRK.

Isu ketahanan pangan misalnya bisa diterobos dengan memandangnya sebagai cara untuk mencari keseimbangan antara produksi berkelanjutan dan konsumsi dengan gizi seimbang. Diversifikasi pangan bisa lebih serius dikembangkan dengan kampanye pangan yang lebih variatif sebagai bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan pangan alternatif dan beragam. Ketimbang menggenjot peternakan skala besar untuk menekan impor sapi, lebih baik mendorong konsumsi protein alternatif dari ikan dan telur. Isu ketahanan pangan dengan pendekatan sistem pangan akan mempercepat transformasi pangan berkelanjutan. Tujuannya secara luas adalah mewujudkan sistem pangan yang menyediakan makanan bergizi untuk semua sekaligus melindungi mata pencaharian dan memulihkan alam.

Ini telah digaungkan dalam KTT Sistem Pangan PBB, yang diharapkan akan diteruskan estafetnya dalam konferensi iklim dunia (yang sayangnya tahun lalu tidak berhasil). Komunitas global pelaku sistem pangan tahu bahwa kita harus bertindak, dan ini seharusnya menjadi salah satu bahasan utama dalam konferensi iklim dunia (COP) tahun ini. Indonesia bisa menginisiasinya.

Lagi pula, apa gunanya alam yang murni dan terlindungi jika tidak bisa memberi makan rakyatnya?

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler