Pengakuan Kesalahan Oleh Ulama Justru Angkat Derajatnya, Teladan Ibnu Hazm
Ibnu Hazm mengakui dirinya salah saat pengambilan argumentasi berdebat
Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, — Para ulama dahulu dikenal dan populer bukan karena propaganda atau media yang menaikkan ratingnya, seperti sebagian orang-orang terkenal masa ini, melainkan karena keilmuan yang diakui, karya-karya yang ditinggalkan dan mawaqif (keteladanan) yang ditampakkan.
Di antara sosok yang dikekalkan sejarah sampai hari ini adalah Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri rahimahullah. Berbeda dengan sebagian ulama yang lahir dari keluarga miskin dan bersahaja, Ibnu Hazm terlahir dari keluarga kaya.
Ayahnya adalah orang penting dalam Dinasti Bani Umayyah di Andalusia. Namun demikian dia selamat dari berbagai godaan kesenangan duniawi dan mampu memimpin dirinya untuk lebih memilih ilmu daripada posisi. Seringnya, cobaan kesenangan lebih berat dari cobaan kesusahan.
Dalam Rasail-nya yang ditahqiq Dr Ihsan Abbas, Ibnu Hazm bercerita bahwa suatu ketika dia berdebat dengan seseorang tentang sebuah masalah.
Tentu saja, ketika itu Ibnu Hazm adalah seorang ulama yang disegani, memiliki banyak murid dan dikenal dimana-mana. Sementara lawan debatnya hanyalah alim biasa.
Ibnu Hazm berkata, “Aku mengalahkannya dalam debat itu karena dia memiliki aib pada lidah sehingga tidak fasih dalam bicara.” Aib seperti ini disebut al-bukuww, kesulitan dalam berbicara sehingga gugup dan tidak percaya diri.
Ketika Ibnu Hazm pulang ke rumah, timbul keraguan dalam dirinya, apakah dia memang benar dalam debat tadi atau malah sebaliknya. Dia lalu membuka kembali kitab-kitabnya.
Ternyata dia telah salah, dan lawan debatnya itu yang sesungguhnya benar. Karena hari sudah larut malam, dia bertekad untuk mendatangi rumah orang tersebut besok pagi dan mengakui kekeliruannya.
Baca juga: 3 Tanda yang Membuat Mualaf Eva Yakin Bersyahadat
Salah seorang murid dekat Ibnu Hazm, setelah mengetahui rencana gurunya untuk datang ke rumah lawan debat yang sudah dikalahkannya kemarin itu bertanya, “Benar engkau akan datang ke rumah orang itu, guru?”
Ibnu Hazm menjawab, “Tentu saja. Bahkan, kalau bisa sekarang, sekarang saya akan menemuinya. Hanya saja hari sudah larut malam.”
Muridnya bertanya lagi, “Apa yang akan engkau katakan pada orang itu?” Ibnu Hazm menjawab, “Saya akan katakan, “Engkau benar dan aku salah.”
Apakah pengakuan Ibnu Hazm terhadap kesalahannya membuat kehormatan dirinya berkurang? Sama sekali tidak. Meskipun sesungguhnya lawan debatnya itu bukan siapa-siapa.
Kalaupun Ibnu Hazm tidak datang menemuinya dan mengakui kesalahannya, mungkin tidak akan ada juga orang yang akan mengetahui hal ini.
Tapi kedewasaan diri, kematangan pribadi dan kebesaran jiwa membuat Ibnu Hazm enggan untuk tidak mengakui kesalahannya, meskipun pada seseorang yang sesungguhnya bukanlah ‘tandingannya’.
Bandingkan ini dengan kisah lain yang terdapat dalam kitab al-Ihkam fi Ushul Ahkam karya Ibnu Hazm juga.
Dia menceritakan dari salah seorang sahabatnya, bahwa ada seorang syekh dan imam di sebuah masjid bernama Muhammad bin Yusuf bin Mathruh al-A’raj. Diaa menjadi imam di Masjid Qurtubah pada masa itu. Sayangnya, dia tidak memiliki kesalehan sebagaimana mestinya seorang alim.
Suatu hari dia menyampaikan khutbah Jumat. Di dalam khutbah itu dia membaca ayat :
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (التوبة : 128)
Ayat tersebut dibacanya salah (lahn). Yang seharusnya عَنِتُّمْ dia baca عَنِنْتُمْ (dengan penambahan huruf nun setelah huruf ‘ain).
Selesai sholat, beberapa thalabatul ‘ilm mendatanginya dan berkata, “Wahai Syekh, ayat yang Anda baca tadi keliru.”
Dia menjawab, “Tidak ada yang keliru. Memang itu yang benar, dan seperti itu pula yang kami dapati dari guru-guru kami dulu.”
Mereka tetap ngotot bahwa dia telah salah. Dia pun juga ngotot bahwa dia tidak salah.
Akhirnya dia masuk ke kamarnya (di dalam masjid itu) untuk mencek mushaf yang dia punya. Dia kaget, ternyata dia memang telah salah. Yang benar adalah عَنِتُّمْ, bukan عَنِنْتُمْ.
Baca juga: Tentara Israel Paksa Diplomat Muslim Taiwan Baca Alquran
Tapi setan dan nafsu telah menguasai dirinya. Dia enggan untuk mengakui kesalahannya. Dia mungkin berpikir bahwa mengakui kesalahan akan menurunkan wibawanya di depan orang banyak.
Tahukah kita apa yang dia lakukan? Dia ambil qalam (pena) dan dia tambahkan satu titik setelah huruf ‘ain agar sesuai seperti bacaannya yang salah tadi. Lalu dia keluar menemui mereka dan berkata, “Betulkan apa saya cakap? Silakan lihat ini. Memang begini yang benar.”
Sumber yang meriwayatkan kisah ini pada Ibnu Hazm berkata, “Demi Allah, kami melihat huruf nun itu ditulis dengan tinta baru yang belum kering.”
نسأل الله السلامة ونعوذ به من الخذلان