DPR Tunggu Surat Presiden Soal UU Cipta Kerja
DPR menunggu surat presiden soal UU Cipta Kerja pascaputusan MK
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua DPR Puan Maharani mengatakan DPR menunggu surat presiden soal UU Cipta Kerja pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ya kita akan tunggu surat presiden (surpres) dari presiden. Kemudian sesuai dengan mekanisme di DPR akan kita teruskan untuk dilaksanakan sesuai dengan mekanismenya," kata Puan di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (24/5/2022).
DPR telah mengesahkan Revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Puan Maharani memastikan pengesahan UU P3 untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Puan memastikan DPR segera memulai pembahasan revisi UU Cipta Kerja.
Menurutnya revisi UU P3 dilakukan karena pada UU Nomor 12/2011 yang merupakan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan belum mengatur mengenai metode Omnibus Law. "Tadi disampaikan pandangan dari pemerintah yang menyatakan bahwa ke depan bagaimana pembahasan UU PPP ini bisa langsung dilaksanakan dengan menghormati keputusan MK sehingga nanti pelaksanaannya agar bisa berjalan dengan baik di lapangan dan sesuaiaturan yang ada," jelas Puan.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam salah satu amar putusan uji formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis, berdampak luas, dan tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Amar putusan tersebut, kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Maria SW Sumardjono, merupakan amar putusan butir 7 Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada 25 November 2021.
Waktu dua tahun yang diberikan MK relatif singkat. Oleh sebab itu, pemerintah perlu segera merancang perbaikan UU tentang P3 dan perbaikan substansi UU Cipta Kerja dengan melibatkan publik dalam seluruh tahapan dan prosesnya. Publik yang dimaksud adalah kelompok dan masyarakat yang terdampak aturan UU Cipta Kerja serta kelompok masyarakat yang punya perhatian terhadap UU yang tengah dirancang. Jadi, partisipasi publik mesti memenuhi tiga syarat yaitu hak publik untuk didengarkan, dipertimbangkan, dan diberi penjelasan/jawaban.