China: Ketidakadilan Historis ke Palestina Dibiarkan Terlalu Lama

Komunitas internasional perlu lebih aktif dalam merespons konflik Israel-Palestina.

AP/Oded Balilty
Bendera Palestina diturunkan dari sebuah gedung oleh otoritas Israel setelah dipasang oleh kelompok advokasi yang mempromosikan koeksistensi antara Palestina dan Israel, di Ramat Gan, Israel, Rabu, 1 Juni 2022.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China Zhao Lijian mengatakan, bertahannya konflik Israel-Palestina disebabkan ketidakadilan historis yang dilakukan terhadap rakyat Palestina dibiarkan terlalu lama. Komentarnya merespons peluncuran laporan sebuah komisi dari Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang menyebut Israel tak berniat mengakhiri pendudukan terhadap Palestina.

Baca Juga


“Alasan yang mendasari konflik berulang antara Israel dan Palestina serta ketegangan yang sedang berlangsung atas wilayah Palestina yang diduduki adalah ketidakadilan historis yang dilakukan terhadap rakyat Palestina telah dibiarkan terlalu lama dan aspirasi sah rakyat Palestina untuk mendirikan sebuah negara merdeka telah lama ditolak,” kata Zhao dalam pengarahan pers, Rabu (8/6/2022), dikutip laman resmi Kemenlu China.

Menurutnya, komunitas internasional perlu lebih aktif dalam merespons konflik Israel-Palestina. “Komunitas internasional perlu bekerja lebih aktif dengan rasa urgensi lebih besar untuk dimulainya kembali pembicaraan damai antara Palestina dan Israel atas dasar solusi dua negara, guna mencapai solusi yang komprehensif, adil, dan permanen untuk persoalan tentang Palestina sejak dini,” ucap Zhao.

The Commission of Inquiry (COI), yang dibentuk Dewan HAM PBB tahun lalu untuk menyelidiki penyebab siklus kekerasan di wilayah Israel-Palestina telah merilis penemuannya pada Selasa (7/6/2022).

Dalam laporannya, mereka mengungkapkan, pendudukan Israel dan diskriminasi terhadap warga Palestina menjadi pemicu utama kekerasan tak berkesudahan di wilayah tersebut. Israel pun disebut tak memiliki niat mengakhiri pendudukan. “Mengakhiri pendudukan tanah oleh Israel tetap penting dalam mengakhiri siklus kekerasan yang terus menerus,” kata tim penyelidik tersebut dalam laporannya.

Laporan setebal 18 halaman itu terutama berfokus pada evaluasi panjang investigasi, laporan, dan keputusan PBB di masa lalu tentang situasi tersebut serta bagaimana dan jika temuan itu diimplementasikan.

Navi Pillay, mantan kepala hak asasi PBB asal Afrika Selatan yang menjadi ketua tim penyelidik mengungkapkan, rekomendasi-rekomendasi dalam laporan-laporan sebelumnya “sangat diarahkan ke Israel”. “Ini indikator sifat konflik yang asimetris dan realitas satu negara menduduki negara lain,” ucap Pillay.

Menurut Pillay, para penyelidik menyatakan, rekomendasi-rekomendasi yang telah dirilis sebelumnya diabaikan atau sangat tidak dilaksanakan. Hal itu merujuk pada seruan untuk memastikan pertanggungjawaban atas pelanggaran Israel terhadap hukum internasional, termasuk penembakan roket oleh kelompok bersenjata Palestina.

“Kurangnya implementasi ini ditambah dengan rasa impunitas, bukti jelas Israel tidak memiliki niat mengakhiri pendudukan, dan diskriminasi yang terus-menerus terhadap warga Palestina yang terletak di jantung berulangnya pelanggaran sistematis di Wilayah Pendudukan Palestina, termasuk Yerusalem Timur, dan Israel,” kata Pillay.

Kementerian Luar Negeri Israel mengkritik dan memprotes laporan yang dirilis komisi penyelidikan Dewan HAM PBB. Tel Aviv menilai laporan itu bersifat sepihak dan dinodai dengan kebencian terhadap negara Israel. Mereka pun berpendapat, laporan komisi tersebut turut disusun berdasarkan bias ekstrem anti-Israel di Dewan HAM PBB.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler