Peneliti BRIN: Pemekaran Papua tak Melalui Proses Kultural

Tak ada konsultasi publik dengan masyarakat di tujuh wilayah adat.

ANTARA/Gusti Tanati
Sejumlah pengunjukrasa dari berbagai elemen mahasiwa berunjukrtasa di Jalan Buper, Waena, Kota Jayapura, Papua sebagai bentuk penolakan atas pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua. - ilustrasi
Rep: Mimi Kartika Red: Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengatakan, rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Papua lebih menonjol karena alasan politis. Menurut dia, pemekaran Papua tidak melalui proses kultural, seperti konsultasi publik dengan masyarakat di tujuh wilayah adat.

Baca Juga


"Sehingga secara proses saya kira ini tidak melalui proses kultural, tidak melalui proses komunikasi yang luas," ujar Cahyo saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (30/6/2022).

Dia mengatakan, pemekaran Papua kali ini memang bersifat topdown, berasal dari inisiatif DPR bersama pemerintah pusat. Dia menyebut, pejabat bupati khususnya pejawat atau yang sedang berkuasa bersama jajarannya, anggota DPRD, elite-elite orang asli Papua, dan beberapa kepala suku yang dekat dengan pemerintah, ikut dilibatkan atau mendukung pemekaran.

Namun, Cahyo sendiri tak bisa menegaskan, apakah mayoritas akar rumput mendukung atau menolak pemekaran. Sebab, kata dia, tidak ada survei yang dilakukan kepada masyarakat Papua terkait rencana DOB ini.

Di sisi lain, dia mengatakan, terjadi arus penolakan pemekaran yang besar di akar rumput, seperti dari Dewan Adat Papua (DAP), Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua (KBMAP) di Kaimana beberapa waktu lalu. Akan tetapi, Cahyo tidak mengetahui arus penolakan ini mayoritas atau tidak. 

"Jadi saya melihat di grass root ada arus penolakan yang besar tapi saya tidak tahu itu mayoritas atau bukan," ucap dia.

Di samping itu, lanjut dia, ada pula yang mendukung seperti masyarakat pendatang, Laskar Merah Putih, dan Barisan Merah Putih. Dengan demikian, terjadi polarisasi di Papua antara yang menolak dan mendukung pemekaran. 

"Ada yang menerima, terutama kelompok-kelompok yang dimobilisasi oleh pemerintah seperti Laskar Merah Putih, Barisan Merah Putih, lembaga masyarakat adat, jadi polarisasi. Ada masyarakat pendatang yang masyarakat nusantara," tutur Cahyo.

Salah satu hal yang menggambarkan pemekaran Papua bersifat politi ialah penetapan ibu kota provinsi baru Komisi II DPR dan pemerintah bersepakat menempatkan ibu kota Provinsi Papua Tengah di Kabupaten Nabire, berubah dari rencana awal di Kabupaten Mimika. 

Dia menerangkan, sebagian masyarakat asli Nabire masih menganggap mereka masuk wilayah budaya Saereri, bersamaan dengan Kabupaten Biak Numfor, Waropen, Supiori, Kepulauan Yapen, di Provinsi Papua. Sedangkan secara geografis, Kabupaten Nabire memang masuk Papua Tengah. 

Demikian juga dengan Kabupaten Mimika, Cahyo menyebut, Mimika adalah tempat orang-orang Kamoro. Secara kultural, Mimika masuk wilayah adat Bomberai bersamaan dengan Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni.

"Jadi ibu kotanya ya gimana ya harus kalau memang benar-benar sesuai dengan wilayah adat mungkin ya bisa di tempat lain, di Enarotali, atau di mana ya, karena itu problematik," kata dia.

Karena itu, untuk penetapan ibu kota pun seharusnya melibatkan DAP, MRP, dan tokoh agama yang mengetahui batas-batas kultural. Bahkan, menurut Cahyo, perlu juga melibatkan akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta jurusan Antropologi Universitas Cendrawasih bersama lembaga-lembaga terkait lainnya.

"Saya kira itu politis penetapan ibu kota provinsi pada akhirnya bermuara pada perdebatan politik," tutur Cahyo.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler