CDC: Kematian Akibat Infeksi Superbug Meningkat di Awal Pandemi Covid-19
Superbug ialah kuman yang resisten terhadap antibiotik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah kasus infeksi superbug yang resisten obat memburuk selama tahun pertama pandemi Covid-19. Merujuk laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), pandemi memicu peningkatan sekitar 15 persen dalam infeksi dan kematian yang disebabkan oleh beberapa infeksi paling mengkhawatirkan.
Ahli dari CDC, Dr Arjun Srinivasan, menyebut hal ini sebagai masalah serius. Dia menduga, beberapa faktor mungkin telah menyebabkan lonjakan kasus, termasuk cara penanganan Covid-19 di awal 2020, yakni ketika virus pertama kali menyebar di AS.
Resistensi antimikroba terjadi ketika kuman seperti bakteri dan jamur mendapatkan kekuatan untuk melawan obat. Penyalahgunaan antibiotik menjadi alasan besar terjadinya resistensi, di mana banyak pasien tidak menghabiskan obat sesuai resep atau bahkan mengonsumsi antibiotik tanpa resep sehingga membuat kuman berkembang lebih kuat.
Sebelum pandemi, CDC mencatat infeksi superbug di AS tampaknya menurun. Kematian turun 18 persen antara 2012 hingga 2017, ketika sekitar 36 ribu orang Amerika meninggal karena infeksi yang resisten terhadap obat.
Kala itu, pemerintah mengapresiasi rumah sakit karena menggunakan antibiotik dengan lebih bijaksana dan secara sigap mengisolasi pasien yang mungkin menyebarkan kuman. Hingga kini, CDC belum mengantongi data lengkap tentang semua superbug di tahun 2020.
Ini karena sebagian karena pejabat kesehatan harus fokus pada Covid-19. Tetapi CDC memiliki data dari tujuh jenis infeksi bakteri dan jamur yang terdeteksi pada pasien rumah sakit.
Dua di antaranya ialah bakteri Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan carbapenem-resistant Enterobacterales (CRE) yang dikenal sebagai "bakteri mimpi buruk" karena memiliki tingkat resistensi yang tinggi terhadap antibiotik yang biasa digunakan. CDC melihat peningkatan 15 persen atau lebih dalam infeksi dan kematian dari kelompok kuman itu.
Satu kemungkinan alasannya, menurut Srinivasan, dari Maret hingga Oktober 2020, hampir 80 persen pasien yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19 menerima antibiotik. Penggunaan jenis antibiotik tertentu melonjak ketika dokter secara agresif menggunakan berbagai obat untuk melawan tidak hanya virus corona tetapi juga co-infeksi bakteri yang mungkin melanda pasien yang imunnya lemah.
Pada 2021, penggunaan antibiotik secara keseluruhan menurun. Srinivasan mencatat bahwa penggunaan kateter, ventilator, dan perangkat medis lainnya juga mungkin turun. Perangkat tersebut, yang digunakan pada pasien sakit parah, dapat masuk ke tubuh pasien dan membuat kuman resisten terhadap obat.
"Namun, setiap peningkatan rawat inap Covid-19 seperti yang terlihat di AS saat ini meningkatkan risiko itu," kata dia seperti dilansir AP, Rabu (13/7/2022).