'Jeritan' Para Siswa dalam Beragam Karya di Acara BNI X Erudio Mefest
Para siswa dari Erudio Indonesia menampilkan karya dari isu dari jeritan hati mereka.
REPUBLIKA.CO.ID, Dewasa ini remaja metropolitan semakin lihai mengekspresikan diri melalui berbagai medium. Jika di Jakarta mencuat fenomena ‘Citayam Fashion Week’ sebagai panggung aktualisasi diri lewat fesyen jalanan, remaja di sekolah Erudio Indonesia turut berekspresi lewat eksibisi karya seni mengandung kritik personal dan sosial.
Acara BNI X Erudio Me Fest dengan tema 'Kembali ke Rumah' ini digelar di Paviliun 9, Bintaro, Tangerang Selatan pada 14-16 Juli 2022. Puluhan siswa dari SMA Erudio Indonesia menumpahkan ekspresi jiwanya melalui berbagai karya, mulai dari gambar lukisan, instalasi, komik, puisi, karya digital, hingga audio.
Sebuah instalasi yang berada di ruang eksibisi bertajuk ‘No Means No!’ karya Keira Keana merupakan salah satu karya yang menarik perhatian. Melalui media komputer, terpampang kata ‘NO’ yang sangat besar berisi kumpulan kata-kata yang mengangkat kritik terhadap isu pelecehan seksual.
Di antara kumpulan kata yang terangkum dalam instalasi tersebut yakni ‘I refuse/ saya menolak’, ‘Don’t/ jangan’, ‘Stay away/ menjauh’, ‘You’ve disappointed your mother/ kamu telah mengecewakan ibumu’, dan ‘Please put your hand to yourself/ tolong letakkan tanganmu untuk dirimu sendiri’.
Karya instalasi lainnya yang dipamerkan dalam eksibisi itu adalah sebuah patung perempuan yang mengenakan gaun berwarna putih dengan rambut hitam yang terurai. Instalasi pakaian itu bertajuk ‘FalseCity’ karya Kinanti Sasongko dan Nalika Arsa, mengangkat isu tentang standar ganda terhadap perempuan dalam masyarakat sosial yang dinilai memengaruhi aktivitas dan keadaan fisik serta mental.
Instalasi pakaian tersebut dilengkapi dengan zine atau majalah dengan tajuk yang sama. Dalam halaman depan zine tersebut tertulis, ‘sebuah zine yang menceritakan tentang dia yang ingin menjadi mawar meski harus terus menginjak duri berakar’.
Pelajar lainnya yang juga menjadi artist yakni Raihan Tegar. Pelajar SMA tersebut menghasilkan karya instalasi berbentuk semacam kumpulan foto dan tulisan yang berjudul ‘5W1H Am I?’. Raihan menyebut, karya tersebut berawal dari grafiti, yang kemudian disusun menjadi satu cerita dalam sebuah buku dengan dominasi warga gelap.
“Karya ‘5W1H Am I’ ini sebenarnya menggambarkan lingkungan yang luar biasa (penuh tantangan), saya belajar mengenali sifat dan karakter diri, evaluasi diri, mana sifat yang perlu dihilangkan, mana yang perlu dihancurkan,” ujar Raihan.
Pelajar lainnya, Nadasja Chantal Alexandra menciptakan karya berupa puisi disertai dengan gambar ilustrasi pastel bertajuk ‘Engulfed’ sebanyak empat buah. Karya itu menyajikan gambar seorang wanita yang diceritakan melarikan diri dari masalahnya, dengan diilustrasikan gambar monster. Keempat gambar itu dibikin dengan penuh warna, lengkap dengan empat puisi berbahasa Inggris di bawah gambar.
Karya unik lainnya adalah sebuah lukisan tengkorak yang berbentuk seperti janin. Karya itu berjudul ‘Em-brace’ yang diciptakan oleh pelajar bernama Nisrina Nuramadhina Syahputri. Karya itu dihasilkan sebagai refleksi dirinya.
“Lukisan berjudul Em-brace ini relate (terkait) ke saya secara pribadi dari masalah fisik dan mental. Yang terlihat di lukisan tersebut adalah tengkorak yang penuh dengan varian warna dan terlihat tengkorak itu sedang duduk di suatu tempat yang lebat, yang saya ingin sampaikan adalah masalah fisik tulang abnormal yang dialami tengkorak tersebut yang akhirnya berpengaruh dengan mentalitasnya,” cerita Nisrina.
Pembimbing para siswa sekaligus Wakil Kepala Sekolah Erudio Indonesia, Chesiria Tattia menuturkan, ekshibisi tersebut digelar sebagai bentuk pentas seni. Dia berujar, pameran tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan di lingkungan sekolahnya, tetapi untuk masyarakat umum terutama remaja.
“Sebenarnya kita ingin mengedukasi anak-anak sekarang bahwa mereka kan tidak bisa dibilang ‘tidak’, harus ada reason (alasan pelarangan), perlu mengajarkan mereka untuk berpikir kritis, meriset, tidak hanya sekedar protes. Kita berharap audiens yang melihat (ekshibisi) jadi punya bahan diskusi ke rumah, bahwa oh ternyata anak-anak SMA punya keresahan isu ini itu. Jadi bisa melihat isu atau masalah dengan lebih luas melalui berbagai sudut pandang,” kata Chesie.