Status Tersangka Ferdy Sambo dan Desakan Mundur kepada Benny Mamoto
Status tersangka Ferdy Sambo bukti kematian Brigadir J bukan akibat saling tembak.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Amri Amrullah, Rr Laeny Sulistyawati
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo pada Selasa (9/8/2022) mengumumkan status tersangka terhadap Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo di kasus dugaan pembunuhan ajudannya sendiri, Brigadir Nofriansyah Yoshua (J). Kapolri dalam keterangan persnya hari ini mengatakan, Irjen Sambo adalah atasan Bharada Richard Eliezer (RE) yang memerintahkan penembakan terhadap Brigadir J.
"Penembakan terhadap J meninggal dunia, yang dilakukan tersangka RE atas perintah FS," begitu kata Kapolri Sigit saat konfrensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa. "Setelah melakukan gelar perkara telah memutuskan untuk menetapkan FS sebagai tersangka," sambung Jenderal Sigit.
Kepala Bareskrim Polri, Komisaris Jenderal (Komjen) Agus Andrianto menerangkan, selain mentersangkakan Irjen Sambo, tim penyidikannya juga menetapkan inisial KM sebagai tersangka. “Jadi dari hasil penyidikan sementara ini, sudah ditetapkan empat orang tersangka. Tersangka Bharada RE, tersangka Bripka RR (Ricky Rizal), tersangka KM (bukan anggota polisi), dan tersangka Irjen Pol FS,” begitu kata Agus dalam konfrensi pers yang sama.
Agus menerangkan, peran masing-masing keempat tersangka itu. Menurut dia, tersangka Bharada RE, adalah orang yang melakukan penembakan terhadap Brigadir J. Peran tersangka Bharada RE, saat ini dalam status dilindungi sebagai justice collaborator.
“Bharada RE membuat pengakuan kepada penyidik dalam pemeriksaan, yang membuat terjadinya (terbuka) ada tersangka-tersangka lainnya,” terang Agus.
Adapun, tersangka Bripka RR, adalah orang yang turut membantu yang menyaksikan penembakan terhadap Brigadir J. Tersangka KM, pun seperti tersangka Bripka RR.
“Tersangka KM, turut membantu, dan menyaksikan penembakan terhadap korban Brigadir J,” ujar Agus.
Terakhir, tersangka Irjen Sambo, sebagai orang yang memerintahkan tersangka Bharada RE, untuk melakukan penembakan terhadap Brigadir J. “Tersangka Irjen FS, menyuruh lakukan, dan menskenariokan peristiwa seolah-olah terjadi tembak-menembak di rumah dinas Irjen Pol Ferdy Sambo, di Kompleks Polri, Duren Tiga,” terang Agus.
Baca juga : Fakta dan Narasi Baru dalam Pengungkapan Kematian Brigadir J
Atas peran, dan perbuatan para tersangka itu, kata Agus, tim penyidik di Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) menjerat keempat tersangka itu dengan Pasal 340 KUH Pidana, subsider Pasal 340 KUH Pidana, juncto Pasal 55, dan Pasal 56 KUH Pidana. Sangkaan dalam pasal tersebut, terkait dengan pembunuhan berencana, subsider pembunuhan, juncto perbantuan untuk melakukan pembunuhan, dan memberikan sarana untuk melakukan pembunuhan.
“Ancaman hukumannya, maksimal hukuman mati, penjara seumu hidup, atau penjara selama 20 tahun,” kata Agus.
Status tersangka Ferdy Sambo dkk ini menjadi bukti atas dugaan ragam kejanggalan dari kasus yang sudah berlangsung selama sebulan terakhir ini. Kejanggalan yang sempat luput dari pantauan Kompolnas, di mana Benny Mamoto selaku Ketua Harian Kompolnas pada 13 Juli lalu mengatakan, tidak ada kejanggalan di kasus kematian Brigadir J.
Benny saat itu menyebut bahwa kejadian polisi tembak polisi adalah kejadian yang diawali dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J. Benny mengaku telah mendatangi langsung tempat kejadian perkara (TKP) dan menyatakan tidak ada kejanggalan sama sekali dalam kasus tewasnya Brigadir J.
"Saya turun langsung, melihat langsung bukti-bukti yang ada termasuk foto-foto yang ada," kata Benny.
Pernyataan Benny yang menegaskan tidak adanya kejanggalan dalam kasus kematian Brigadir J ini sempat menuai polemik di media sosial. Bahkan, sempat beredar meme yang berisi pemberitaan yang mengutip pernyataan Benny di kasus ini.
Atas pernyataan-pernyataan Benny Mamoto terkait kasus kematian Brigadir J, anggota Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa memberi catatan kritis. Desmond menyayangkan, mengapa Benny Mamoto justru tidak ikut berperan memperbaiki citra institusi Polri dalam kasus ini.
"Kompolnas yang diwakili oleh Benny Mamoto, itu sudah tidak layak lagi ia di situ. Saya melihat Benny Mamoto harus malu lah. Kalau menurut saya seorang mantan Jendral punya budaya malu, Benny Mamoto mundurlah dari Kompolnas," kata Desmond kepada wartawan, Selasa (9/8/2022).
Menurut Desmond, Benny Mamoto, sebagai pribadi mantan polisi seharusnya bisa membuat Polri lebih sehat. Tetapi, menurutnya, pernyataan Benny Mamoto sebagai ketua harian Kompolnas di kasus kematian Brigadir J malah membuat citra Polri semakin buruk, karena terkesan ada yang disembunyikan.
"Karena itu, saya mengingatkan Benny Mamoto seharusnya tahu malu dan segera mundur dari Kompolnas," tegas Desmond.
Ia mengungkapkan, Komisi III DPR setelah masa reses nanti akan segera memanggil mitra kerjanya, seperti Kapolri, Komnas HAM, LPSK termasuk Kompolnas. Pemanggilan ini untuk melihat perkembangan kasus ini, bagaimana yang sebenarnya.
"Dan kami tetap mengapresiasi apa yang sudah dikerjakan timsus atas arahan Kapolri, agar penyelesaian kasus ini lebih transparan dan Polri tetap memiliki martabat di mata masyarakat," jelasnya.
Desmond juga mengingatkan agar LPSK dan Komnas HAM tidak perlu mengikuti cara Kompolnas. Kedua lembaga ini ia ingatkan agar tak ikut berpolitik atau bahkan menutup-nutupi fakta yang sebenarnya. Karena itu, ia memastikan Komnas HAM dan LPSK akan menjadi bagian yang akan dipanggil terkait kasus Brigadir J ini.
Desmond menegaskan, Komisi III DPR tidak menginginkan ada sekelompok anggota kepolisian atau sebagian oknum perwira polisi yang bisa 'bermain' dalam rekayasa kasus seperti ini. Karena itu, ia mengingatkan ada banyak kasus serupa yang juga perlu dilihat lebih dalam, seperti kasus pembunuhan anggota FPI di KM 50 yang faktanya masih mengecewakan.
"Karena itu ke depan harus semakin baik. Kita berharap institusi kepolisian tidak dirugikan oleh oknum-oknum polisi yang hari ini lebih mencintai geng atau kelompok korpsnya daripada mencintai institusinya," tegas Desmond.
Merespons desakan mundur dari Kompolnas, Benny Mamoto angkat bicara. Benny mengatakan, Kompolnas memiliki kewenangan yang terbatas.
"Kompolnas memiliki kewenangan yg terbatas. Berbeda dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang memiliki kewenangan penyelidikan," ujar Benny saat dihubungi Republika, Selasa (9/8/2022).
Artinya, dia melanjutkan, Komnas HAM bisa memanggil saksi-saksi, aparat, ahli, dan sebagainya seperti yang disaksikan selama ini. Sedangkan, Kompolnas sebatas minta klarifikasi ke Polri dan mengumpulkan data atau bisa juga pengadu melapor ke Kompolnas.
Benny melanjutkan, jikalau Kompolnas diberikan kewenangan penyelidikan seperti Komnas HAM maka Kompolnas bisa melakukan penyelidikan sendiri.
"Tetapi Kompolnas tidak boleh intervensi penyidikan yang dilakukan oleh Polri," ujarnya.
Kemudian, dia melanjutkan, hasil klarifikasi tersebut yang disampaikan ke publik. Apabila hasil klarifikasi sudah diterima oleh pengadu dan dinilai tidak sesuai, dia melanjutkan, maka pengadu dapat mengajukan keberatan dan Kompolnas akan meminta klarifikasi kembali ke Polri.
"Dalam kasus Duren Tiga, Kompolnas sudah berusaha klarifikasi dan datang ke Kapolres Jakarta Selatan untuk dapatkan penjelasan tentang penanganan kasus tersebut," katanya.
Ia menambahkan, penjelasan Kapolres tersebut yang Kompolnas sampaikan ke publik karena sumbernya resmi. Kemudian, dia melanjutkan, penjelasan tersebut tidak benar dan akhirnya Kapolres di nonaktifkan dan Kompolnas ikut kena dampaknya karena dianggap menjadi juru bicara Polri.
"Dalam kasus ini selama tahap penyelidikan dan penyidikan, rilis Polri terus berubah sesuai temuan hasil penyidikan. Demikian juga pemberitaan media yang terus berubah," ujarnya.
Ia menambahkan, dinamika penyidikan meningkat signifikan setelah dibentuknya Tim Khusus dan Irsus. Kemudian, hasil pendalaman pemeriksaan yang dievaluasi maka direkomendasikan pemutasian beberapa anggota Polri. Ia menambahkan, perkembangan penyidikan sangat signifikan sehingga ada penetapan tiga tersangka dan pemeriksaan etik.